Sabtu, 02 Mei 2015

Sosiolinguistik "Pengertian Bilingualisme"



1.      Pengertain Bilingualisme
        Bilingualisme adalah digunakannnya dua buah bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian.
      Menurut Haugen dalam http://motivasipendidikancunul.blogspot.com/2012/01/ -bilingualisme.html kedwibahasaan adalah tahu dua bahasa. Jika diuraikan secara lebih umum maka pengertian kedwibahasaan adalah pemakaian dua bahasa secara bergantian baik secara produktif maupun reseftif oleh seorang individu atau oleh masyarakat. Mengemukakan kedwibahasaan dengan tahu dua bahasa (knowledge of two languages), cukup mengetahui dua bahasa secara pasif atau understanding without speaking.
            Menurut http://bocahsastra.wordpress.com/2012/05/02/bilingualisme/  Istilah bilingualisme (Inggris: bilingualism) dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan. Secara harfiah sudah dapat dipahami apa yang dimaksud bilingualisme itu, yakni berkenaan dengan penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa. Dalam perspektif sosiolinguistik, bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalalm pergaulannya dengan orang lain secara bergantian. Untuk dapat menggunakan dua bahasa tentunya seseorang harus menguasai kedua bahasa itu. Pertama adalah bahasa ibu atau bahasa pertamanya (disingkat B1) dan yang kedua adalah bahasa lain yang menjadi bahasa keduanya (disingkat B2).
            Menurut Nababan (1964:27) dalam http://bocahsastra.wordpress.com/2012/05/02/bilingualisme/  kebiasaan menggunakan  dua bahasa dalam interaksi dengan orang lain. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dan dalam Kamus Linguistik bilingualisme diartikan sebagai pemakai dua bahasa atau lebih oleh penutur bahasa atau oleh suatu masyarakat bahasa. Dengan kata lain kebiasaan menggunakan dua bahasa atau lebih dalam bilingualisme berlaku secara perorangan dan juga secara kelompok kemasyarakatan.
      Menurut Robert Lado dalam http://motivasipendidikancunul.blogspot.com-bilingualisme.html kedwibahasaan merupakan kemampuan berbicara dua bahasa dengan sama atau hampir sama baiknya. Secara teknis pendapat ini mengacu pada pengetahuan dua bahasa, bagaimana tingkatnya oleh seseorang.
            Mackey dan Fishman (Chaer, 2004:87), menyatakan dengan tegas bahwa bilingualisme adalah praktik penggunaan bahasa secara bergantian, dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain, oleh seorang penutur. Menurut Mackey dan Fishman, dalam membicarakan kedwibahasan tercakup beberapa pengertian, seperti masalah tingkat, fungsi, pertukaran/alih kode, percampuran/campur kode, interferensi, dan integrasi. Pengertian bilingualisme menurut Mackey dan Fishman inilah yang dirasa sangat relevan bagi penulis.
2.      Pembagian bilingualisme
Adapun beberapa jenis pembagian kedwibahasaan berdasarkan tipologi kedwibahasaan, yaitu :
a.       Kedwibahasaan Majemuk (compound bilingualism)
Kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa kemampuan berbahasa salah satu bahasa lebih baik dari pada kemampuan berbahasa bahasa yang lain. Kedwibahasaan ini didasarkan pada kaitan antara B1 dengan B2 yang dikuasai oleh dwibahasawan. Kedua bahasa dikuasai oleh dwibahasawan tetapi berdiri sendiri-dendiri.
b.       Kedwibahasaan Koordinatif / sejajar.
Kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa pemakaian dua bahasa sama-sama baik oleh seorang individu. Kedwibahasaan seimbang dikaitkan dengan taraf penguasaan B1 dan B2. Orang yang sama mahirnya dalam dua bahasa.
c.       Kedwibahasaan Sub-ordinatif (kompleks)
        Kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa seorang individu pada saat memakai B1 sering memasukkan B2 atau sebaliknya. Kedwibahasaan ini dihubungkan dengan situasi yang dihadapi B1. Adalah sekelompok kecil yang dikelilingi dan didominasi oleh masyarakat suatu bahasa yang besar sehinga masyarakat kecil ini dimungkinkan dapat kehilangan B1-nya.
              Menurut Pohl dalam http://motivasipendidikancunul.blogspot.com-bilingualisme.html tipologi bahasa lebih didasarkan pada status bahasa yang ada didalam masyarakat, maka Pohl membagi kedwibahasaan menjadi tiga tipe yaitu:
a. Kedwibahasaan Horisontal (horizontal bilingualism)
Merupakan situasi pemakaian dua bahasa yang berbeda tetapi masing-masing bahasa memiliki status yang sejajar baik dalam situasi resmi, kebudayaan maupun dalam kehidupan keluarga dari kelompok pemakainya.
b. Kedwibahasaan Vertikal (vertical bilinguism)
Merupakan pemakaian dua bahasa apabila bahasa baku dan dialek, baik yang berhubungan ataupun terpisah, dimiliki oleh seorang penutur.
c. Kedwibahasaan Diagonal (diagonal bilingualism)
Merupakan pemakaian dua bahasa dialek atau tidak baku secara bersama-sama tetapi keduanya tidak memiliki hubungan secara genetik dengan bahasa baku yang dipakai oleh masyarakat itu.
3.       Permasalahan dalam Bilingualisme
            Menurut Mackey dan Fishman dalam http://sungaibatinku.wordpress.com/2009/03/20/kedwibahasaan-dan-diglosia/ ada beberapa permasalahan dalam bilingualism, yaitu:
a.       Tingkat
            Masalah tingkat kaitannya adalah dengan sejauh mana sesorang mampu menjadi seorang dwibahasawan atau sejauh mana seseorang mampu mengetahui bahasa yang dipakainya atau bagaimana tingkat kemampuan berbahasa seseorang. Kemampuan berbahasa seseorang akan nampak dari empat keterampilan berbahasa, yaitu menyimak, membaca, berbicara, dan menulis. Menurutnya, dalam keempat keterampilan tersebut akan mencakup fonologi, gramatik, leksis, semantik, dan stailistik. Jika diambil kesimpulan, masalah tingkat ini adalah masalah yang berkaitan dengan pemahaman dan pengetahuan seseorang terhadap bahasa yang dipakainya
b.      Fungsi
            Fungsi kaitannya dengan pengertian untuk apa seseorang menggunakan bahasa dan apa peranan bahasa dalam kehidupan pelakunya. Hal ini berkaitan dengan kapan seseorang yang bilingual menggunakan kedua bahasanya secara bergantian. Masalah fungsi ini menyangkut masalah pokok sosiolinguistik yaitu siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, dan dengan tujuan apa. Penggunaan bahasa pertama oleh seorang penutur, misalnya bahasa pertamanya bahasa Sunda, hanya akan digunakan dengan semua anggota masyarakat tutur yang menggunakan bahasa Sunda pula. Penggunaan bahasa pertama tersebut juga akan terbatas hanya pada situasi-situasi tertentu, misalnya ketika dalam percakapan sehari-hari dalam ruang lingkup keluarga dan untuk membicarakan hal-hal yang bersifat biasa. Namun, dalam situasi-situasi tertentu pula bahasa pertama tidak dapat digunakan. Misalnya dalam kegiatan pendidikan di sekolah, walaupun guru dan murid menggunakan B1 yang sama (misalnya Bahasa Jawa), akan tetapi dalam hal ini hanya bahasa Indonesialah yang dapat digunakan, sebab bahasa Indonesia yang menjadi bahasa kedua guru dan murid tersebut merupakan bahasa nasional yang berfungsi sebagai bahasa resmi kenegaraan.
c.       Alih Kode
            Pertukaran atau alih kode adalah sampai seberapa luaskah seseorang dapat mempertukarkan bahasa-bahasa itu dan bagaimana seseorang dapat berpindah dari satu bahasa ke bahasa lain.
d.      Campur Kode
            Campur kode terjadi bilamana seseorang mencampurkan dua atau lebih bahasa atau ragam bahasa dalam suatu situasi berbahasa yang menuntut percampuran bahasa. Pertukaran atau alih kode biasanya selalu berkaitan dengan percampuran atau campur kode. Campur kode biasanya terjadi dalam situasi-situasi yang santai atau nonformal. Dalam situasi berbahasa yang formal jarang terjadi campur kode, kalaupun terjadi campur kode itu hanya sebagai akibat tidak adanya padanan yang tepat dalam bahasa yang sedang digunakan.
e.       Interferensi
            Istilah interferensi pertama kali digunakan oleh Weinreich dalam http://sungaibatinku.wordpress.com/2009/03/20/kedwibahasaan-dan-diglosia/ untuk menyebut adanya perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur bilingual. Sedangkan penutur bilingual yaitu penutur yang menggunakan dua bahasa secara bergantian dan penutur multilingual yaitu penutur yang dapat menggunakan banyak bahasa secara bergantian. Weinreich menganggap bahwa interferensi sebagai gejala penyimpangan dari norma-norma kebahasaan yang terjadi pada penggunaan bahasa seorang penutur sebagai akibat pengenalannya terhadap lebih dari satu bahasa, yakni akibat kontak bahasa.
            Interferensi dianggap gejala yang sering terjadi dalam penggunaan bahasa. Di zaman modern ini, persentuhan bahasa sudah sedemikian rumit, baik sebagai akibat dari mobilisasi yang semakin tinggi maupun sebagai kemajuan teknologi komunikasi yang sangat pesat, maka interferensi dapat dikatakan sebagai gejala yang dapat mengarah kepada perubahan bahasa terbesar, terpenting dan paling dominan saat ini.
f.       Integrasi
            Integrasi terjadi apabila unsur serapan dari suatu bahasa telah dapat menyesuaikan diri dengan sistem bahasa penyerapnya shingga pemakaiannya telah menjadi umum karena tidak lagi terasa asing. Interferensi dan integrasi timbul sebagai akibat kontak bahasa, yakni pemakaian satu bahasa di dalam bahasa sasaran atau kebalikannya yang terjadi pada seorang penutur bilingual. Keduanya tidak dapat dipisahkan. Perbedaannya adalah interferensi dianggap sebagai penyimpangan dalam penggunaan bahasa tulis maupun lisan yang terjadi pada suatu masyarakat bahasa, sementara integrasi tidak dianggap sebagai gejalapenyimpangan dikarenakan unsur-unsur bahasa sumber itu telah disesuaikan dengan bahasa sasarannya dan dianggap sebagai perbendaharaan kata baru. Integrasi dipandang sebagai sesuatu yang diperlukan jika tidak ada padanan kata dalam bahasa sasaran.
            Menurut Mackey dalam http://sungaibatinku.wordpress.com.kedwibahasaan-dan-diglosia/ integrasi adalah unsur-unsur bahasa lain yang digunakan dalam bahasa tertentu dan dianggap sudah menjadi warga bahasa tersebut. Mulanya seorang penutur menggunakan unsur bahasa lain sebagai unsur pinjaman karena merasa diperlukan, kemudian unsur asing yang digunakan itu bisa diterima dan digunakan juga oleh orang lain, sehingga unsur tersebut berstatus telah berintegrasi.
            Proses penerimaan unsur bahasa asing, khususnya unsur kosakata, dalam bahasa Indonesia, awalnya dilakukan secara audial. Artinya, mula-mula penutur Indonesia mendengar butir-butir leksikal dari penutur aslinya, lalu mencoba menggunakannya (didengar-diujarkan-dituliskan). Oleh karena itu, kosakata yang diterima secara audial menampakkan ciri ketidakteraturan jika dibandingkan dengan kosakata aslinya.
Penyerapan unsur asing bukan hanya melalui penyerapan kata asing disertai penyesuaian lafal dan ejaan, tetapi dilakukan dengan cara: (1) penerjemahan langsung , artinya kosakata itu dicarikan padanannya dan (2) penerjemahan konsep, artinya, kosakata asing itu diteliti baik-baik konsepnya lalu dicarikan kosakata yang konsepnya dekat dengan kosakata asing tersebut. Jika sebuah kata serapan ada pada tingkat integrasi, maka kata serapan itu sudah disetujui dan proses yang terjadi dalam integrasi ini lazim disebut konvergensi. Setiap bahasa akan mengalami interfernsi kemudian disusul dengan peristiwa integrasi. Selain itu, tidak sedikit kosakata yang berasala dari satu bahasa lalu tersebar luas dan bersifat universal sehingga orang tidak merasa perlu menyerap sampaipada tingka tintegrasi.
4.      Diglosia
Kata diglosia berasal dari bahasa prancis diglossie, yang pernah digunakan oleh Marcais, seorang lingu Prancis: tetapi istilah itu menjadi terkenal dalam studi sosiolingustik setelah digunakan oleh seorang swarjana dari Stanford University, yaitu C.A. Ferguson tahun 1958 dalam suatu symposium tentang “Urbanisasi dan bahasa-bahasa standar” yang diselenggarakan oleh American Anthropological Association di Washinton DC. Kemudian Ferguson menjadikan lebih terkenal lagi istilah tersebut dengan sebuah artikelnya yang berjudul “diglosia”.
Ferguson menggunakan istilah diglosia untuk menyatakan keadaan suatu masyarakat di mana terdapat dua variasi dari satu bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing mempunyai peranan tertentu. Diglosia ini dijelaskan oleh Ferguson dengan mengetangahkan sembilan topik:
1). Fungsi
Merupakan kriteria diglosia yang sangat pentin. Menurut ferguson dalam masyarakat diglosis terdapat dua variasi dari satu bahasa. Variasi pertama disebut dialek tinggi (disingkat dialek T atau ragam T), dan yang kedua disebut dialek rendah (disingkat dialek R atau ragam R).
2). Prestise
Dalam masyarakat diglosis para penutur biasanya menggunakan dialek T lebih bergengsi, lebih superior, lebih terpandang, dan merupakan bahasa yang logis. Sedangkan dialek R dianggap inferior, malahan ada yang menolak keberadaannya.
3) . Warisan Kesusastraan
Pada tiga dari empat bahasa yang digunakan Ferguson sebagai contoh terdapat kesusastraan di mana ragam T yang digunakan dan dihormati oleh masyarakat bahasa tersebut. Kalau ada juga karya sastra kontemporer dengan menggunakan ragam T, maka dirasakan sebagai kelanjutan dari tradisi itu, yakni bahwa karya sastra harus dalam ragam T. tradisi kesusastraan yang selalu dalam ragam T ini (setidaknya dalam empat contoh di atas) menyebabkan kesusastraan itu tetap berakar, baik di Negara-negara berbahasa arab, bahasa yunani, bahasa prancis, dan bahasa jerman.
4). Pemerolehan
       Ragam T diperoleh dengan mempelajarinya dalam pendidikan formal, sedangkan ragam R diperoleh dari pergaulan dengan keluarga dan teman-teman sepergaulan.
5). Standardisasi
Ragam T dipandang sebagai ragam yang bergengsi, maka tidak mengherankan kalau standarisasi dilakukan terhadap ragam T tersebut melalui kodifikasi formal.
6). Stabilitas
Kesetabilan dalam masyarakat diglosia biasanya telah berlangsung lama, dimana ada sebuah variasi bahasa yang dipertahankan eksistensinya dalam masyarakat itu.
7). Gramatika
Dalam ragam T adanya kalimat-kalimat kompleks dengan sejumlah konstruksi subordinasi adalah hal yang biasa, tetapi dalam ragam R diangap artificial.
8). Leksikon
Sebagian besar kosakata pada ragam T dan ragam R adalah sama. Namun, ada kosakata pada ragam T yang tidak ada pasangannya pada ragam R, atau sebaliknya.
9). Fonologi
Dalam bidang fonologi ada perbedaan structural antara ragam T dan ragam R. Perbedaan tersebut bisa dekat bisa juga jauh.
 Pakar sosiologi yang lain, yakni Fasold (1984) mengembangkan konsep diglosia ini menjadi apa yang disebutkan broad diglosia (diglosia luas). Di dalam konsep  broad diglosia perbedaan itu tidak hanya antara du bahasa atau dua ragam atau dua dialek secara binern melainkan bisa lebih dari dua bahasa atau dua dialek itu. Dengan demikian termasuk juga keadaan masyarakat yang di dalamnya ada diperbedakan tingkatan fingsi kebahasaan, sehingga muncullah apa yang disebut Fasold diglosia ganda dalam bentuk yang disebut double overlapping diglosia, double-nested diglosia, dan linear polyglosia.
5.      Kaitan Bilingualisme dan Diglosia
 Kalau diglosia diartikan sebagai adanya perbedaan fungsi atas penggunaan bahasa (terutama fungsi T dan R) dan bilingualisme adalah keadaan penggunaan dua bahasa secara bergantian dalam masyarakat. Adanya empat jenis hubungan antara bilingualisme dan diglosia, yaitu :
1)     Bilingualisme dan diglosia
               Di dalam masyarakat yang dikarekterisasikan sebagai masyarakat yang bilingualisme dan diglosia, hamper setiap orang mengetahui ragam atau bahasa T dan ragam atau bahasa R. kedua ragam atau bahasa itu akan digunakan menrurut fungsinya masing-masing, yang tidak dapat dipertukarkan.
2)     Bilingualisme tanpa diglosia
              Dalam masyarakat yang bilingualis tetapi tidak diglosis tetdapat sejumlah individu yang bilingual, namun mereka tidak membatasi penggunaan bahasa untuk satu situasi dan bahasa yang lain untuk situasi yang lain pula. Jadi, mereka dapat menggunakan bahasa yang manapun untuk situasi dan tujuan apapun.]
3)     Diglosia tanpa bilingualisme
              Di dalam masyarakat yang beriri diglosia tapi tanpa bilingualismre terdapat dua kelompok penutur. Kelompok pertama yang biasanya lebih keil, merupakan kelompok ruling group yang hanya biara dalam bahasa T. sedangkan kelompom kedua yang biasanya lebih besar, tidak memiliki kekuasaan dalam masyarakat, hanya berbiara bahasa R. siatasi diglosia tanpa bilingualisme banyak kita jumpai di Eropa sebelum perang dunia pertama.
4)     Tidak bilingualisme dan tidak diglosia
              Masyarakat yang tidak diglosia dan tidak bilingual tentunya hanya ada satu bahasa dan tanpa variasi serta dapat digunakan untuk segala tujuan. Keadaan in hanya mugnkin ada dalam masyarakat primitive atau terpencil, yang dewasa ini tentunya sukar ditemukan. Masyarakat yang tidak diglosia dan bilingual ini akan mencair apabila telah bersentuhan dengan masyarakat lain.
6.      Cara Mengukur Kedwibahasaan
        Menurut W.E.Lambert dalam http:// www.scribd.com /doc/49113867/ bilingualis  telah mengembangkan suatu alat untuk mengukurkedwibahasaan dengan mencatat hal-hal sebagai berikut:
1.      Waktu reaksi seseorang terhadap dua bahasa. Bila kecepatan reaksinyasama, maka dianggap sebagai dwibahasawan. Misalnya dalam menjawabpertanyaan yang sama, tetapi dalam bahasa yang berbeda. Disini yangdiukur adalah kemampuan dalam segi ekspresinya.
2.      Kecepatan reaksi dapat diukur pula dari bagaimana seseorang melaksanakanperintah-perintah yang diberikan dalam bahasa yang berbeda. Jadi disini lebihmelihat kemampuan dalam segi reseptifnya.
3.      Kemampuan seseorang melengkapkan suatu perkataan. Misalnya, kepadasubyek diberikan kata-kata yang tidak sempurna kemudian ia harusmenyempurnakannya.
4.      Mengukur kecenderungan (preferences) pengucapan secara spontan. Dalamhal ini kepada subyek diberikan suatu perkataan yang sama tulisannya, tetapipengucapannya dalam dua bahasa.Misalnya, tulisan ‘nation’ harus dibaca dan diucapkan secara spontan olehdwibahasawan Inggris-Perancis, kemudian dilihat apa yang diucapkannya,“nasion” (Perancis) atau “nesjan” (Inggris).

DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik. Jakarta: Rineka Cipta
http://umanrejoss.blogspot.com/2010/12/bilingualisme-atau-kedwibahasaan.htm

2 komentar:

  1. artikelnya sangat membantu terima kasih

    BalasHapus
  2. makasi blognya, sudah sangat membantu dalam tugas sy. smg berkah

    BalasHapus