1. Pengertain Bilingualisme
Bilingualisme adalah digunakannnya dua
buah bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian.
Menurut Haugen dalam http://motivasipendidikancunul.blogspot.com/2012/01/
-bilingualisme.html kedwibahasaan adalah tahu
dua bahasa. Jika diuraikan secara lebih umum maka pengertian kedwibahasaan
adalah pemakaian dua bahasa secara bergantian baik secara produktif maupun
reseftif oleh seorang individu atau oleh masyarakat. Mengemukakan kedwibahasaan
dengan tahu dua bahasa (knowledge of two languages), cukup mengetahui dua
bahasa secara pasif atau understanding without speaking.
Menurut
http://bocahsastra.wordpress.com/2012/05/02/bilingualisme/ Istilah bilingualisme (Inggris: bilingualism)
dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan. Secara harfiah sudah dapat
dipahami apa yang dimaksud bilingualisme itu, yakni berkenaan dengan penggunaan
dua bahasa atau dua kode bahasa. Dalam perspektif sosiolinguistik,
bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur
dalalm pergaulannya dengan orang lain secara bergantian. Untuk dapat
menggunakan dua bahasa tentunya seseorang harus menguasai kedua bahasa itu.
Pertama adalah bahasa ibu atau bahasa pertamanya (disingkat B1) dan yang kedua
adalah bahasa lain yang menjadi bahasa keduanya (disingkat B2).
Menurut
Nababan (1964:27) dalam http://bocahsastra.wordpress.com/2012/05/02/bilingualisme/ kebiasaan menggunakan dua bahasa dalam interaksi dengan orang lain.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dan dalam Kamus Linguistik bilingualisme
diartikan sebagai pemakai dua bahasa atau lebih oleh penutur bahasa atau oleh
suatu masyarakat bahasa. Dengan kata lain kebiasaan menggunakan dua bahasa atau
lebih dalam bilingualisme berlaku secara perorangan dan juga secara kelompok
kemasyarakatan.
Menurut Robert
Lado dalam http://motivasipendidikancunul.blogspot.com-bilingualisme.html
kedwibahasaan
merupakan kemampuan berbicara dua bahasa dengan sama atau hampir sama baiknya.
Secara teknis pendapat ini mengacu pada pengetahuan dua bahasa, bagaimana
tingkatnya oleh seseorang.
Mackey dan Fishman (Chaer,
2004:87), menyatakan dengan tegas bahwa bilingualisme adalah praktik penggunaan
bahasa secara bergantian, dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain, oleh
seorang penutur. Menurut Mackey dan Fishman, dalam membicarakan kedwibahasan
tercakup beberapa pengertian, seperti masalah tingkat, fungsi, pertukaran/alih
kode, percampuran/campur kode, interferensi, dan integrasi. Pengertian
bilingualisme menurut Mackey dan Fishman inilah yang dirasa sangat relevan bagi
penulis.
2. Pembagian bilingualisme
Adapun
beberapa jenis pembagian kedwibahasaan berdasarkan tipologi kedwibahasaan,
yaitu :
a.
Kedwibahasaan Majemuk (compound bilingualism)
Kedwibahasaan yang
menunjukkan bahwa kemampuan berbahasa salah satu bahasa lebih baik dari pada
kemampuan berbahasa bahasa yang lain. Kedwibahasaan ini didasarkan pada kaitan
antara B1 dengan B2 yang dikuasai oleh dwibahasawan. Kedua bahasa dikuasai oleh
dwibahasawan tetapi berdiri sendiri-dendiri.
b.
Kedwibahasaan Koordinatif / sejajar.
Kedwibahasaan yang
menunjukkan bahwa pemakaian dua bahasa sama-sama baik oleh seorang individu.
Kedwibahasaan seimbang dikaitkan dengan taraf penguasaan B1 dan B2. Orang yang
sama mahirnya dalam dua bahasa.
c.
Kedwibahasaan Sub-ordinatif (kompleks)
Kedwibahasaan
yang menunjukkan bahwa seorang individu pada saat memakai B1 sering memasukkan
B2 atau sebaliknya. Kedwibahasaan ini dihubungkan dengan situasi yang dihadapi
B1. Adalah sekelompok kecil yang dikelilingi dan didominasi oleh masyarakat
suatu bahasa yang besar sehinga masyarakat kecil ini dimungkinkan dapat
kehilangan B1-nya.
Menurut Pohl dalam http://motivasipendidikancunul.blogspot.com-bilingualisme.html
tipologi
bahasa lebih didasarkan pada status bahasa yang ada didalam masyarakat, maka
Pohl membagi kedwibahasaan menjadi tiga tipe yaitu:
a. Kedwibahasaan Horisontal (horizontal
bilingualism)
Merupakan situasi pemakaian
dua bahasa yang berbeda tetapi masing-masing bahasa memiliki status yang
sejajar baik dalam situasi resmi, kebudayaan maupun dalam kehidupan keluarga
dari kelompok pemakainya.
b. Kedwibahasaan Vertikal (vertical
bilinguism)
Merupakan pemakaian dua
bahasa apabila bahasa baku dan dialek, baik yang berhubungan ataupun terpisah,
dimiliki oleh seorang penutur.
c. Kedwibahasaan Diagonal (diagonal
bilingualism)
Merupakan pemakaian dua
bahasa dialek atau tidak baku secara bersama-sama tetapi keduanya tidak
memiliki hubungan secara genetik dengan bahasa baku yang dipakai oleh
masyarakat itu.
3. Permasalahan dalam Bilingualisme
Menurut Mackey dan Fishman dalam http://sungaibatinku.wordpress.com/2009/03/20/kedwibahasaan-dan-diglosia/
ada beberapa permasalahan dalam bilingualism, yaitu:
a. Tingkat
Masalah tingkat kaitannya adalah dengan sejauh mana
sesorang mampu menjadi seorang dwibahasawan atau sejauh mana seseorang mampu
mengetahui bahasa yang dipakainya atau bagaimana tingkat kemampuan berbahasa
seseorang. Kemampuan berbahasa seseorang akan nampak dari empat keterampilan
berbahasa, yaitu menyimak, membaca, berbicara, dan menulis. Menurutnya, dalam
keempat keterampilan tersebut akan mencakup fonologi, gramatik, leksis,
semantik, dan stailistik. Jika diambil kesimpulan, masalah tingkat ini adalah
masalah yang berkaitan dengan pemahaman dan pengetahuan seseorang terhadap
bahasa yang dipakainya
b. Fungsi
Fungsi kaitannya dengan pengertian untuk apa seseorang
menggunakan bahasa dan apa peranan bahasa dalam kehidupan pelakunya. Hal ini
berkaitan dengan kapan seseorang yang bilingual menggunakan kedua bahasanya
secara bergantian. Masalah fungsi ini menyangkut masalah pokok sosiolinguistik
yaitu siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, dan dengan
tujuan apa. Penggunaan bahasa pertama oleh seorang penutur, misalnya bahasa
pertamanya bahasa Sunda, hanya akan digunakan dengan semua anggota masyarakat
tutur yang menggunakan bahasa Sunda pula. Penggunaan bahasa pertama tersebut
juga akan terbatas hanya pada situasi-situasi tertentu, misalnya ketika dalam
percakapan sehari-hari dalam ruang lingkup keluarga dan untuk membicarakan
hal-hal yang bersifat biasa. Namun, dalam situasi-situasi tertentu pula bahasa
pertama tidak dapat digunakan. Misalnya dalam kegiatan pendidikan di sekolah,
walaupun guru dan murid menggunakan B1 yang sama (misalnya Bahasa Jawa), akan
tetapi dalam hal ini hanya bahasa Indonesialah yang dapat digunakan, sebab
bahasa Indonesia yang menjadi bahasa kedua guru dan murid tersebut merupakan
bahasa nasional yang berfungsi sebagai bahasa resmi kenegaraan.
c. Alih Kode
Pertukaran atau alih kode adalah sampai seberapa luaskah
seseorang dapat mempertukarkan bahasa-bahasa itu dan bagaimana seseorang dapat
berpindah dari satu bahasa ke bahasa lain.
d. Campur Kode
Campur kode terjadi bilamana seseorang mencampurkan dua
atau lebih bahasa atau ragam bahasa dalam suatu situasi berbahasa yang menuntut
percampuran bahasa. Pertukaran atau alih kode biasanya selalu berkaitan dengan
percampuran atau campur kode. Campur kode biasanya terjadi dalam
situasi-situasi yang santai atau nonformal. Dalam situasi berbahasa yang formal
jarang terjadi campur kode, kalaupun terjadi campur kode itu hanya sebagai
akibat tidak adanya padanan yang tepat dalam bahasa yang sedang digunakan.
e. Interferensi
Istilah interferensi pertama kali digunakan oleh
Weinreich dalam http://sungaibatinku.wordpress.com/2009/03/20/kedwibahasaan-dan-diglosia/
untuk menyebut adanya perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya
persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh
penutur bilingual. Sedangkan penutur bilingual yaitu penutur yang menggunakan
dua bahasa secara bergantian dan penutur multilingual yaitu penutur yang dapat
menggunakan banyak bahasa secara bergantian. Weinreich menganggap bahwa
interferensi sebagai gejala penyimpangan dari norma-norma kebahasaan yang
terjadi pada penggunaan bahasa seorang penutur sebagai akibat pengenalannya
terhadap lebih dari satu bahasa, yakni akibat kontak bahasa.
Interferensi dianggap gejala yang sering terjadi dalam
penggunaan bahasa. Di zaman modern ini, persentuhan bahasa sudah sedemikian
rumit, baik sebagai akibat dari mobilisasi yang semakin tinggi maupun sebagai
kemajuan teknologi komunikasi yang sangat pesat, maka interferensi dapat
dikatakan sebagai gejala yang dapat mengarah kepada perubahan bahasa terbesar,
terpenting dan paling dominan saat ini.
f. Integrasi
Integrasi terjadi apabila unsur serapan dari suatu bahasa
telah dapat menyesuaikan diri dengan sistem bahasa penyerapnya shingga
pemakaiannya telah menjadi umum karena tidak lagi terasa asing. Interferensi
dan integrasi timbul sebagai akibat kontak bahasa, yakni pemakaian satu bahasa
di dalam bahasa sasaran atau kebalikannya yang terjadi pada seorang penutur
bilingual. Keduanya tidak dapat dipisahkan. Perbedaannya adalah interferensi
dianggap sebagai penyimpangan dalam penggunaan bahasa tulis maupun lisan yang
terjadi pada suatu masyarakat bahasa, sementara integrasi tidak dianggap
sebagai gejalapenyimpangan dikarenakan unsur-unsur bahasa sumber itu telah
disesuaikan dengan bahasa sasarannya dan dianggap sebagai perbendaharaan kata
baru. Integrasi dipandang sebagai sesuatu yang diperlukan jika tidak ada
padanan kata dalam bahasa sasaran.
Menurut Mackey dalam http://sungaibatinku.wordpress.com.kedwibahasaan-dan-diglosia/
integrasi adalah unsur-unsur bahasa lain yang digunakan dalam bahasa tertentu
dan dianggap sudah menjadi warga bahasa tersebut. Mulanya seorang penutur
menggunakan unsur bahasa lain sebagai unsur pinjaman karena merasa diperlukan,
kemudian unsur asing yang digunakan itu bisa diterima dan digunakan juga oleh
orang lain, sehingga unsur tersebut berstatus telah berintegrasi.
Proses penerimaan unsur bahasa asing, khususnya unsur
kosakata, dalam bahasa Indonesia, awalnya dilakukan secara audial. Artinya,
mula-mula penutur Indonesia mendengar butir-butir leksikal dari penutur
aslinya, lalu mencoba menggunakannya (didengar-diujarkan-dituliskan). Oleh
karena itu, kosakata yang diterima secara audial menampakkan ciri
ketidakteraturan jika dibandingkan dengan kosakata aslinya.
Penyerapan unsur asing
bukan hanya melalui penyerapan kata asing disertai penyesuaian lafal dan ejaan,
tetapi dilakukan dengan cara: (1) penerjemahan langsung , artinya kosakata itu
dicarikan padanannya dan (2) penerjemahan konsep, artinya, kosakata asing itu
diteliti baik-baik konsepnya lalu dicarikan kosakata yang konsepnya dekat
dengan kosakata asing tersebut. Jika sebuah kata serapan ada pada tingkat
integrasi, maka kata serapan itu sudah disetujui dan proses yang terjadi dalam
integrasi ini lazim disebut konvergensi. Setiap bahasa akan mengalami
interfernsi kemudian disusul dengan peristiwa integrasi. Selain itu, tidak
sedikit kosakata yang berasala dari satu bahasa lalu tersebar luas dan bersifat
universal sehingga orang tidak merasa perlu menyerap sampaipada tingka
tintegrasi.
4. Diglosia
Kata
diglosia berasal dari bahasa prancis diglossie, yang pernah
digunakan oleh Marcais, seorang lingu Prancis: tetapi istilah itu menjadi
terkenal dalam studi sosiolingustik setelah digunakan oleh seorang swarjana
dari Stanford University, yaitu C.A. Ferguson tahun 1958 dalam suatu symposium
tentang “Urbanisasi dan bahasa-bahasa standar” yang diselenggarakan oleh American
Anthropological Association di Washinton DC. Kemudian Ferguson menjadikan
lebih terkenal lagi istilah tersebut dengan sebuah artikelnya yang berjudul
“diglosia”.
Ferguson
menggunakan istilah diglosia untuk menyatakan keadaan suatu masyarakat di mana
terdapat dua variasi dari satu bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing
mempunyai peranan tertentu. Diglosia ini dijelaskan oleh Ferguson dengan
mengetangahkan sembilan topik:
1). Fungsi
Merupakan kriteria diglosia
yang sangat pentin. Menurut ferguson dalam masyarakat diglosis terdapat dua
variasi dari satu bahasa. Variasi pertama disebut dialek tinggi (disingkat
dialek T atau ragam T), dan yang kedua disebut dialek rendah (disingkat dialek
R atau ragam R).
2). Prestise
Dalam masyarakat diglosis
para penutur biasanya menggunakan dialek T lebih bergengsi, lebih superior,
lebih terpandang, dan merupakan bahasa yang logis. Sedangkan dialek R dianggap
inferior, malahan ada yang menolak keberadaannya.
3) . Warisan
Kesusastraan
Pada tiga dari empat bahasa
yang digunakan Ferguson sebagai contoh terdapat kesusastraan di mana ragam T
yang digunakan dan dihormati oleh masyarakat bahasa tersebut. Kalau ada juga
karya sastra kontemporer dengan menggunakan ragam T, maka dirasakan sebagai
kelanjutan dari tradisi itu, yakni bahwa karya sastra harus dalam ragam T.
tradisi kesusastraan yang selalu dalam ragam T ini (setidaknya dalam empat
contoh di atas) menyebabkan kesusastraan itu tetap berakar, baik di
Negara-negara berbahasa arab, bahasa yunani, bahasa prancis, dan bahasa jerman.
4). Pemerolehan
Ragam
T diperoleh dengan mempelajarinya dalam pendidikan formal, sedangkan ragam R
diperoleh dari pergaulan dengan keluarga dan teman-teman sepergaulan.
5). Standardisasi
Ragam T dipandang sebagai
ragam yang bergengsi, maka tidak mengherankan kalau standarisasi dilakukan
terhadap ragam T tersebut melalui kodifikasi formal.
6). Stabilitas
Kesetabilan dalam masyarakat
diglosia biasanya telah berlangsung lama, dimana ada sebuah variasi bahasa yang
dipertahankan eksistensinya dalam masyarakat itu.
7). Gramatika
Dalam ragam T adanya
kalimat-kalimat kompleks dengan sejumlah konstruksi subordinasi adalah hal yang
biasa, tetapi dalam ragam R diangap artificial.
8). Leksikon
Sebagian besar kosakata
pada ragam T dan ragam R adalah sama. Namun, ada kosakata pada ragam T yang
tidak ada pasangannya pada ragam R, atau sebaliknya.
9). Fonologi
Dalam bidang fonologi ada
perbedaan structural antara ragam T dan ragam R. Perbedaan tersebut bisa dekat
bisa juga jauh.
Pakar
sosiologi yang lain, yakni Fasold (1984) mengembangkan konsep diglosia ini
menjadi apa yang disebutkan broad diglosia (diglosia luas). Di dalam
konsep broad diglosia perbedaan itu tidak hanya antara du bahasa
atau dua ragam atau dua dialek secara binern melainkan bisa lebih dari dua
bahasa atau dua dialek itu. Dengan demikian termasuk juga keadaan masyarakat
yang di dalamnya ada diperbedakan tingkatan fingsi kebahasaan, sehingga
muncullah apa yang disebut Fasold diglosia ganda dalam bentuk yang disebut
double overlapping diglosia, double-nested diglosia, dan linear polyglosia.
5. Kaitan Bilingualisme dan Diglosia
Kalau
diglosia diartikan sebagai adanya perbedaan fungsi atas penggunaan bahasa
(terutama fungsi T dan R) dan bilingualisme adalah keadaan penggunaan dua
bahasa secara bergantian dalam masyarakat. Adanya empat jenis hubungan antara
bilingualisme dan diglosia, yaitu :
1) Bilingualisme
dan diglosia
Di dalam
masyarakat yang dikarekterisasikan sebagai masyarakat yang bilingualisme dan
diglosia, hamper setiap orang mengetahui ragam atau bahasa T dan ragam atau
bahasa R. kedua ragam atau bahasa itu akan digunakan menrurut fungsinya
masing-masing, yang tidak dapat dipertukarkan.
2) Bilingualisme
tanpa diglosia
Dalam
masyarakat yang bilingualis tetapi tidak diglosis tetdapat sejumlah individu
yang bilingual, namun mereka tidak membatasi penggunaan bahasa untuk satu
situasi dan bahasa yang lain untuk situasi yang lain pula. Jadi, mereka dapat
menggunakan bahasa yang manapun untuk situasi dan tujuan apapun.]
3) Diglosia
tanpa bilingualisme
Di dalam
masyarakat yang beriri diglosia tapi tanpa bilingualismre terdapat dua kelompok
penutur. Kelompok pertama yang biasanya lebih keil, merupakan kelompok ruling
group yang hanya biara dalam bahasa T. sedangkan kelompom kedua yang biasanya
lebih besar, tidak memiliki kekuasaan dalam masyarakat, hanya berbiara bahasa
R. siatasi diglosia tanpa bilingualisme banyak kita jumpai di Eropa sebelum
perang dunia pertama.
4) Tidak
bilingualisme dan tidak diglosia
Masyarakat yang
tidak diglosia dan tidak bilingual tentunya hanya ada satu bahasa dan tanpa
variasi serta dapat digunakan untuk segala tujuan. Keadaan in hanya mugnkin ada
dalam masyarakat primitive atau terpencil, yang dewasa ini tentunya sukar
ditemukan. Masyarakat yang tidak diglosia dan bilingual ini akan mencair
apabila telah bersentuhan dengan masyarakat lain.
6.
Cara Mengukur Kedwibahasaan
Menurut
W.E.Lambert dalam http://
www.scribd.com /doc/49113867/ bilingualis telah mengembangkan suatu alat untuk
mengukurkedwibahasaan
dengan mencatat hal-hal sebagai berikut:
1. Waktu reaksi
seseorang terhadap dua bahasa. Bila kecepatan reaksinyasama, maka dianggap sebagai
dwibahasawan. Misalnya dalam menjawabpertanyaan
yang sama, tetapi dalam bahasa yang berbeda. Disini yangdiukur adalah
kemampuan dalam segi ekspresinya.
2. Kecepatan reaksi dapat diukur pula
dari bagaimana seseorang melaksanakanperintah-perintah yang diberikan dalam
bahasa yang berbeda. Jadi disini lebihmelihat kemampuan dalam segi reseptifnya.
3. Kemampuan seseorang melengkapkan
suatu perkataan. Misalnya, kepadasubyek
diberikan kata-kata yang tidak sempurna kemudian ia harusmenyempurnakannya.
4. Mengukur kecenderungan (preferences)
pengucapan secara spontan. Dalamhal ini kepada subyek diberikan suatu perkataan
yang sama tulisannya, tetapipengucapannya dalam dua bahasa.Misalnya, tulisan
‘nation’ harus dibaca dan diucapkan secara spontan olehdwibahasawan
Inggris-Perancis, kemudian dilihat apa yang diucapkannya,“nasion” (Perancis)
atau “nesjan” (Inggris).
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik.
Jakarta: Rineka Cipta
http://umanrejoss.blogspot.com/2010/12/bilingualisme-atau-kedwibahasaan.htm
artikelnya sangat membantu terima kasih
BalasHapusmakasi blognya, sudah sangat membantu dalam tugas sy. smg berkah
BalasHapus