PENERAPAN FILOLOGI PADA NASKAH RISALAH AMAL MA’RIFAT
a.
Kodikologi Pada Naskah Risalah Amal Ma’rifah
Wujud fisik
1.
Panjang : 17,4 cm
2.
Lebar : 12,5 cm
3.
Tebal : 22 halaman
Kitab ini sudah dicetak oleh
beberapa percetakan atau penerbit, oleh karena itu kemungkinan tingkat
ketebalannya relatif berbeda antara satu cetakan dengan cetakan lain. Seperti
terbitan Mathba’ah Al-Ahmadiyah Jalan Sultan Nomor 82 Singapura, bertahun 1347
H (1929 M), cetakan keempat tebalnya adalah 32 halaman. Cetakan dan diterbitan
Toko Buku Hasanu Banjarmasin tahun 1405 H/1984 M, dengan format yang agak tebal
menggunakan kertas putih. Sedangkan cetakan dan terbitkan Toko Kitab Beirut
Barabai Kabupaten Hulu Sungai Tengah, kitab Amal Ma’rifah disertai dengan
penjelasan, dengan judul “Ini Risalah Amal Ma’rifah Beserta Taqrir”, tebalnya
89 halamannya. Orang yang mensyarah kitab ini bernama Mahmud Siddiq, dia adalah
anak dari Abdurrahman Siddiq. Walau tidak disebutkan waktu dan tanggal
penerbitan, namun penyelesaian pensyarahannya pada tanggal 5 Desember 1979 M.
Di samping itu kitab ini juga pernah dicetak oleh penerbit Darul Ihya Kutubil
Arabiyah Surabaya.
Jadi paling tidak kitab ini pernah
dicetak oleh empat penerbit, yaitu Mathba’ah al-Ahmadiyah Singapura, Tolo Buku
Hasanu Banjarmasin, Darul Ihya Surabaya, dan Toko Buku Beirut Barabai. Oleh
karena itu kitab ini cukup tersebar luas diberbagai daerah bahkan negara,
khsususnya di kawasan Asia Tenggara, seperti di Singapura, Malaysia, Indonesia,
Brunei Darussalam, Thailand dan Birma.
Wujud
non-fisik
1. Ilmu : Tauhid dan Tasawuf
2. Sastra : Naratif
Kitab
ini sudah dicetak oleh beberapa percetakan atau penerbit, oleh karena itu
kemungkinan tingkat ketebalannya relatif berbeda antara satu cetakan dengan
cetakan lain. Seperti terbitan Mathba’ah Al-Ahmadiyah Jalan Sultan Nomor 82
Singapura, bertahun 1347 H (1929 M), cetakan keempat tebalnya adalah 32
halaman. Cetakan dan diterbitan Toko Buku Hasanu Banjarmasin tahun 1405 H/1984
M, dengan format yang agak tebal menggunakan kertas putih. Sedangkan cetakan
dan terbitkan Toko Kitab Beirut Barabai Kabupaten Hulu Sungai Tengah, kitab
Amal Ma’rifah disertai dengan penjelasan, dengan judul “Ini Risalah Amal
Ma’rifah Beserta Taqrir”, tebalnya 89 halamannya. Orang yang mensyarah kitab
ini bernama Mahmud Siddiq, dia adalah anak dari Abdurrahman Siddiq. Walau tidak
disebutkan waktu dan tanggal penerbitan, namun penyelesaian pensyarahannya pada
tanggal 5 Desember 1979 M. Di samping itu kitab ini juga pernah dicetak oleh
penerbit Darul Ihya Kutubil Arabiyah Surabaya.
b.
Tekstologi pada Naskah Risalah Amal Ma’rifah
Nama lengkap kitab ini adalah
Risalah Amal Ma’rifah Mengesakan Allah Ta’ala Yang Dinukilkan Dari Pada Kitab
Tasawuf Dengan Ikhtisar oleh Hamba Abdurrahman Siddiq Banjari. Kitab ini
ditulis dengan menggunakan bahasa Arab Melayu/ tulisan jawi. Disusun dan
selesai ditulis pada bulan Rabiul Awwal tahun 1332 H dan pertama kali dicetak
tahun 1347 H atas inisiatif dari H. Abdul Hamid, yang merupakan menantu
Abdurrahman Siddiq. Kemudian, kitab ini ditulis dengan copy baru dan tulisan
seorang khathtath bernama Muhammad Nafis Abdul Razak tahun 1391 H.
Walaupun
teks Risalah Amal Ma’rifah tidak disusun dengan sistematika yang lebih tegas
sebagaimana kitab-kitab kontemporer, namun di dalamnya juga memuat beberapa hal
yang cukup sistematis, meliputi: pengertian syariat, tarekat dan hakikat,
konsep pengesaan Allah dengan af’al-Nya, asma-Nya, sifat-Nya, dan zat-Nya. Kitab ini dinukil dari
sejumlah kitab tasawuf, maka di dalamnya diakui pula adanya sejumlah tokoh sufi
yang diikuti ajarannya atau dijadikan dasar oleh Abdurrahman Siddiq dalam
menguraikan pendiriannya.
®
Konsep Tauhid Sufistik dan Tasawuf Abdurrahman
Siddiq
Sebelum berbicara tentang tauhid dan
tasawuf, Abdurrahman Siddiq telah lebih dahulu mengemukakan kedudukan syariat,
tarekat, hakikat dan ma’rifat. Keempat unsur ini memang penting bagi keagamaan seseorang
dan tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Beliau sudah mengaskan, syariat
tanpa hakikat hampa dan hakikat tanpa syariat batil sebagaimana pendapat Syekh
Abdul Qadir Jaelani yang menyatakan bahwa “tiap-tiap hakikat yang tidak
meneguhi akan dia oleh syariat, maka itu adalah zindik”
Penegasan Abdurrahmnan Siddiq ini sejalan
dengan pendapat tokoh sufi Abu Yazid al-Bustami yang menyatakan bahwa:
لونظرتم إلى رجل أعطي من الكرامت حتى يرتقي في الهواء فلا
تغتروابه حتى تنظروا كيف تجدونه عند الأمر والنهي, وحفظ الحدود, وأداء الشريعة.
Artinya:
“Kalau
kamu melihat seseorang yang diberi karamat sampai ia bisa terbang di udara,
jangan kamu tertarik kepadanya. Kecuali dia melaksanakan suruhan agama dan
menghentikan larangan agama serta menunaikan segala kewajiban syariatnya secara
baik.
Seseorang baru bisa dekat, dan menjadi
wali Allah bila tetap rajin beramal dan beribadah, atau menjalankan syariat
dengan sebaik-baiknya sebagaimana yang dikatakan oleh Ma’ruf al-Karakhi berikut
ini:
إياك أن تترك العمل فإن ذلك الذى يقربك إلى رضا مولاك.
فقلت : وماذلك العمل؟ فقال : دوام طاعةربك, وخدمة المسلمين والنصيحةلهم .
Artinya:
“Jauhilah
olehmu keinginan untuk meninggalkan amal ibadah, karena amal ibadah itulah yang
akan mendekatkan kamu kepada Tuhanmu. Kemudian ada yang bertanya : Apakah amal
ibadah itu? Jawab beliau : Beristiqomah untuk taat kepada Tuhan, berkhidmat dan
memberi nasihat kepada kaum muslimin”.
Melalui
kitab Amal Ma’rifahnya tersebut dan juga karya-karyanya yang lain, Abdurrahman
Siddiq berusaha meluruskan aliran tauhid dan tasawuf yang cenderung menyimpang.
Abdurrahman Siddiq berusaha meluruskan semua ini dengan mengacu kepada
ayat-ayat dan hadits yang beliau anggap relevan serta pendapat para ulama sufi
yang diakui ketokohannya.
Dalam
rangka bertauhid mengesakan Allah, Abdurrahman Siddiq berusaha melihat tauhid
dari sisi yang lebih mendalam, tidak sekadar tauhid Uluhiyyah dan Rububiyah
yang dikenal oleh kalangan awam dan menengah. Beliau mengajarkan tauhid
sufistik dalam empat macam, yaitu tauhid al-Af’al, tauhid al-Asma, tauhid
al-Sifat, dan tauhid al-Zat. Abdurrahman Siddiq mengajarkan tauhid sufistik
dalam empat macam, yaitu tauhid al-Af’al, tauhid al-Asma, tauhid al-Sifat, dan
tauhid al-Zat.
a.
Tauhid
al-Af’al
Tauhid
atau Wahdaniyat af’al, beliau merumuskan perbuatan manusia dalam hubungannya
dengan perbuatan Tuhan. Bahwa semua perbuatan manusia baik yang positif berupa
iman dan taat maupun perbuatan yang negatif berupa kafir dan maksiat, baik
perbuatan itu bersifat mubasyarah, maupun tawallud, kesemuanya dalam pandangan
mata hati adalah perbuatan Allah semata. Bila hal ini sudah diyakini secara
haqqul yakin, barulah seseorang hamba mendapat ma’rifat dalam wahdaniyat af’al
dengan Allah. Dasar yang digunakan oleh Abdurrahman Siddiq dalam mengajarkan
wahdaniyat af’al ini antara lain adalah surah ash-Shafaat ayat 96:
وَاللهُ خَلَقَكُمْ وَمَاتَعْمَلُوْنَ. (الصافات :96)
Artinya:
“Padahal
Allahlah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu, karenanya
sembahlah Dia dan esakanlah Dia”.
b.
Tauhid
al-Asma
Menurut
Abdurrahman Siddiq, tauhid (wahdaniyat al-Asma) adalah meyakini dengan
pandangan mata hati bahwa tiada sekali-kali yang ada di alam ini memiliki nama,
kecuali pada hakikatnya zat Allah saja, atau yang wujud dan punya nama hanya
Allah saja. Segala nama yang ada di alam ini hanya zahir, karena tiap-tiap asma
itu menuntut akan wujud musamma. Artinya yang wujud dan punya nama Allah saja
dan wujud segala alam ini hanya khayal dan sangkaan saja serta nisbah kepada
wujud Allah, AsmaNya itu kembali kepada wujud-Nya :
فَأَيْنَمَاتُوَلُّوْافَثَمَّ وَجْهُ اللهِ . (البقرة
: 115)
Artinya:
“Maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah”.
c.
Tauhid
al-Sifat
Dalam
wahdaniyat sifat, Abdurrahman Siddiq mengajarkan hanya Allah yang Esa pada
segala sifat; dalam kudrat, iradat, ilmu, hayat, sama’, bashar, kalam dan
sebagainya. Tidak ada zat lain yang punya sifat seperti sifatnya Allah.
Kalaupun ada makhluk punya sifat itu hanya majaz, hakikatnya hanya sifat Allah.
Dengan
memiliki dan meyakini wahdaniyat sifat ini, seorang hamba akan mampu mencapai
maqam fana fillah dan baqa bisifatillah. Hamba akan beroleh ma’rifat dan Allah
akan membukakan rahasia sifatNya yang mulia kepada hamba.
d.
Tauhid
al-Zat
Dalam
hal wahdaniyat zat, Abdurrahman Siddiq mengajarkan keyakinan bahwa tiada yang
maujud di dalam maujud kecuali hanya Allah. Wujud manusia hanya khayal,
semuanya akan fana dalam maujud Allah, seperti maujud dalam mimpi, setelah
terbangun semua sirna, begitu juga maujud yang lain selain Allah.
Orang
yang mampu mencapai tauhid keempat ini akan mampu menyelam dalam laut
ahadiyatullah, mabuk dan tidak ingin siuman dari mabuknya. Ketika itu baginya
habis fana fillah, hilangnya wujudnya dalam wujudnya Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar