Jumat, 01 Mei 2015

PENERAPAN FILOLOGI PADA NASKAH



PENERAPAN FILOLOGI PADA NASKAH RISALAH AMAL MA’RIFAT

a.      Kodikologi  Pada Naskah Risalah Amal Ma’rifah
Wujud fisik
1.         Panjang              : 17,4 cm
2.         Lebar                 : 12,5 cm
3.         Tebal                  : 22 halaman
            Kitab ini sudah dicetak oleh beberapa percetakan atau penerbit, oleh karena itu kemungkinan tingkat ketebalannya relatif berbeda antara satu cetakan dengan cetakan lain. Seperti terbitan Mathba’ah Al-Ahmadiyah Jalan Sultan Nomor 82 Singapura, bertahun 1347 H (1929 M), cetakan keempat tebalnya adalah 32 halaman. Cetakan dan diterbitan Toko Buku Hasanu Banjarmasin tahun 1405 H/1984 M, dengan format yang agak tebal menggunakan kertas putih. Sedangkan cetakan dan terbitkan Toko Kitab Beirut Barabai Kabupaten Hulu Sungai Tengah, kitab Amal Ma’rifah disertai dengan penjelasan, dengan judul “Ini Risalah Amal Ma’rifah Beserta Taqrir”, tebalnya 89 halamannya. Orang yang mensyarah kitab ini bernama Mahmud Siddiq, dia adalah anak dari Abdurrahman Siddiq. Walau tidak disebutkan waktu dan tanggal penerbitan, namun penyelesaian pensyarahannya pada tanggal 5 Desember 1979 M. Di samping itu kitab ini juga pernah dicetak oleh penerbit Darul Ihya Kutubil Arabiyah Surabaya.
            Jadi paling tidak kitab ini pernah dicetak oleh empat penerbit, yaitu Mathba’ah al-Ahmadiyah Singapura, Tolo Buku Hasanu Banjarmasin, Darul Ihya Surabaya, dan Toko Buku Beirut Barabai. Oleh karena itu kitab ini cukup tersebar luas diberbagai daerah bahkan negara, khsususnya di kawasan Asia Tenggara, seperti di Singapura, Malaysia, Indonesia, Brunei Darussalam, Thailand dan Birma.
Wujud non-fisik
1.    Ilmu                   : Tauhid dan Tasawuf
2.    Sastra                 : Naratif

            Kitab ini sudah dicetak oleh beberapa percetakan atau penerbit, oleh karena itu kemungkinan tingkat ketebalannya relatif berbeda antara satu cetakan dengan cetakan lain. Seperti terbitan Mathba’ah Al-Ahmadiyah Jalan Sultan Nomor 82 Singapura, bertahun 1347 H (1929 M), cetakan keempat tebalnya adalah 32 halaman. Cetakan dan diterbitan Toko Buku Hasanu Banjarmasin tahun 1405 H/1984 M, dengan format yang agak tebal menggunakan kertas putih. Sedangkan cetakan dan terbitkan Toko Kitab Beirut Barabai Kabupaten Hulu Sungai Tengah, kitab Amal Ma’rifah disertai dengan penjelasan, dengan judul “Ini Risalah Amal Ma’rifah Beserta Taqrir”, tebalnya 89 halamannya. Orang yang mensyarah kitab ini bernama Mahmud Siddiq, dia adalah anak dari Abdurrahman Siddiq. Walau tidak disebutkan waktu dan tanggal penerbitan, namun penyelesaian pensyarahannya pada tanggal 5 Desember 1979 M. Di samping itu kitab ini juga pernah dicetak oleh penerbit Darul Ihya Kutubil Arabiyah Surabaya.

b.      Tekstologi  pada Naskah Risalah Amal Ma’rifah
            Nama lengkap kitab ini adalah Risalah Amal Ma’rifah Mengesakan Allah Ta’ala Yang Dinukilkan Dari Pada Kitab Tasawuf Dengan Ikhtisar oleh Hamba Abdurrahman Siddiq Banjari. Kitab ini ditulis dengan menggunakan bahasa Arab Melayu/ tulisan jawi. Disusun dan selesai ditulis pada bulan Rabiul Awwal tahun 1332 H dan pertama kali dicetak tahun 1347 H atas inisiatif dari H. Abdul Hamid, yang merupakan menantu Abdurrahman Siddiq. Kemudian, kitab ini ditulis dengan copy baru dan tulisan seorang khathtath bernama Muhammad Nafis Abdul Razak tahun 1391 H.
            Walaupun teks Risalah Amal Ma’rifah tidak disusun dengan sistematika yang lebih tegas sebagaimana kitab-kitab kontemporer, namun di dalamnya juga memuat beberapa hal yang cukup sistematis, meliputi: pengertian syariat, tarekat dan hakikat, konsep pengesaan Allah dengan af’al-Nya, asma-Nya, sifat-Nya, dan zat-Nya. Kitab ini dinukil dari sejumlah kitab tasawuf, maka di dalamnya diakui pula adanya sejumlah tokoh sufi yang diikuti ajarannya atau dijadikan dasar oleh Abdurrahman Siddiq dalam menguraikan pendiriannya.
®    Konsep Tauhid Sufistik dan Tasawuf Abdurrahman Siddiq
       Sebelum berbicara tentang tauhid dan tasawuf, Abdurrahman Siddiq telah lebih dahulu mengemukakan kedudukan syariat, tarekat, hakikat dan ma’rifat. Keempat unsur ini memang penting bagi keagamaan seseorang dan tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Beliau sudah mengaskan, syariat tanpa hakikat hampa dan hakikat tanpa syariat batil sebagaimana pendapat Syekh Abdul Qadir Jaelani yang menyatakan bahwa “tiap-tiap hakikat yang tidak meneguhi akan dia oleh syariat, maka itu adalah zindik”
       Penegasan Abdurrahmnan Siddiq ini sejalan dengan pendapat tokoh sufi Abu Yazid al-Bustami yang menyatakan bahwa:
لونظرتم إلى رجل أعطي من الكرامت حتى يرتقي في الهواء فلا تغتروابه حتى تنظروا كيف تجدونه عند الأمر والنهي, وحفظ الحدود, وأداء الشريعة.
Artinya: “Kalau kamu melihat seseorang yang diberi karamat sampai ia bisa terbang di udara, jangan kamu tertarik kepadanya. Kecuali dia melaksanakan suruhan agama dan menghentikan larangan agama serta menunaikan segala kewajiban syariatnya secara baik.
       Seseorang baru bisa dekat, dan menjadi wali Allah bila tetap rajin beramal dan beribadah, atau menjalankan syariat dengan sebaik-baiknya sebagaimana yang dikatakan oleh Ma’ruf al-Karakhi berikut ini:
إياك أن تترك العمل فإن ذلك الذى يقربك إلى رضا مولاك. فقلت : وماذلك العمل؟ فقال : دوام طاعةربك, وخدمة المسلمين والنصيحةلهم .
Artinya: “Jauhilah olehmu keinginan untuk meninggalkan amal ibadah, karena amal ibadah itulah yang akan mendekatkan kamu kepada Tuhanmu. Kemudian ada yang bertanya : Apakah amal ibadah itu? Jawab beliau : Beristiqomah untuk taat kepada Tuhan, berkhidmat dan memberi nasihat kepada kaum muslimin”.
       Melalui kitab Amal Ma’rifahnya tersebut dan juga karya-karyanya yang lain, Abdurrahman Siddiq berusaha meluruskan aliran tauhid dan tasawuf yang cenderung menyimpang. Abdurrahman Siddiq berusaha meluruskan semua ini dengan mengacu kepada ayat-ayat dan hadits yang beliau anggap relevan serta pendapat para ulama sufi yang diakui ketokohannya.
       Dalam rangka bertauhid mengesakan Allah, Abdurrahman Siddiq berusaha melihat tauhid dari sisi yang lebih mendalam, tidak sekadar tauhid Uluhiyyah dan Rububiyah yang dikenal oleh kalangan awam dan menengah. Beliau mengajarkan tauhid sufistik dalam empat macam, yaitu tauhid al-Af’al, tauhid al-Asma, tauhid al-Sifat, dan tauhid al-Zat. Abdurrahman Siddiq mengajarkan tauhid sufistik dalam empat macam, yaitu tauhid al-Af’al, tauhid al-Asma, tauhid al-Sifat, dan tauhid al-Zat.
a.       Tauhid al-Af’al
Tauhid atau Wahdaniyat af’al, beliau merumuskan perbuatan manusia dalam hubungannya dengan perbuatan Tuhan. Bahwa semua perbuatan manusia baik yang positif berupa iman dan taat maupun perbuatan yang negatif berupa kafir dan maksiat, baik perbuatan itu bersifat mubasyarah, maupun tawallud, kesemuanya dalam pandangan mata hati adalah perbuatan Allah semata. Bila hal ini sudah diyakini secara haqqul yakin, barulah seseorang hamba mendapat ma’rifat dalam wahdaniyat af’al dengan Allah. Dasar yang digunakan oleh Abdurrahman Siddiq dalam mengajarkan wahdaniyat af’al ini antara lain adalah surah ash-Shafaat ayat 96:
وَاللهُ خَلَقَكُمْ وَمَاتَعْمَلُوْنَ. (الصافات :96)
Artinya: “Padahal Allahlah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu, karenanya sembahlah Dia dan esakanlah Dia”.
b.      Tauhid al-Asma
Menurut Abdurrahman Siddiq, tauhid (wahdaniyat al-Asma) adalah meyakini dengan pandangan mata hati bahwa tiada sekali-kali yang ada di alam ini memiliki nama, kecuali pada hakikatnya zat Allah saja, atau yang wujud dan punya nama hanya Allah saja. Segala nama yang ada di alam ini hanya zahir, karena tiap-tiap asma itu menuntut akan wujud musamma. Artinya yang wujud dan punya nama Allah saja dan wujud segala alam ini hanya khayal dan sangkaan saja serta nisbah kepada wujud Allah, AsmaNya itu kembali kepada wujud-Nya :
فَأَيْنَمَاتُوَلُّوْافَثَمَّ وَجْهُ اللهِ . (البقرة : 115)
Artinya: “Maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah”.
c.       Tauhid al-Sifat
Dalam wahdaniyat sifat, Abdurrahman Siddiq mengajarkan hanya Allah yang Esa pada segala sifat; dalam kudrat, iradat, ilmu, hayat, sama’, bashar, kalam dan sebagainya. Tidak ada zat lain yang punya sifat seperti sifatnya Allah. Kalaupun ada makhluk punya sifat itu hanya majaz, hakikatnya hanya sifat Allah.
Dengan memiliki dan meyakini wahdaniyat sifat ini, seorang hamba akan mampu mencapai maqam fana fillah dan baqa bisifatillah. Hamba akan beroleh ma’rifat dan Allah akan membukakan rahasia sifatNya yang mulia kepada hamba.
d.      Tauhid al-Zat
Dalam hal wahdaniyat zat, Abdurrahman Siddiq mengajarkan keyakinan bahwa tiada yang maujud di dalam maujud kecuali hanya Allah. Wujud manusia hanya khayal, semuanya akan fana dalam maujud Allah, seperti maujud dalam mimpi, setelah terbangun semua sirna, begitu juga maujud yang lain selain Allah.
Orang yang mampu mencapai tauhid keempat ini akan mampu menyelam dalam laut ahadiyatullah, mabuk dan tidak ingin siuman dari mabuknya. Ketika itu baginya habis fana fillah, hilangnya wujudnya dalam wujudnya Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar