MENULIS
TEKNIS/PRAKTIS RESENSI
Adapun langkah-langkah menulis
teknis/praktis resensi adalah sebagai berikut:
·
Menentukan buku yang akan diresensi
-
Yaitu buku Novel “Salah
Asuhan”
·
Membaca buku yang akan diresensi
·
Menandai bagian-bagian yang akan dijadikan kutipan
sebagai data
·
Menuliskan data-data penulisan resensi
·
Menuliskan identitas buku
·
Mengemukakan sinopsis novel
·
Mengemukakan kelebihan dan kekurang-an buku novel
·
Mengemukakan sasaran pembaca; dan
·
Revisi
RESENSI SALAH ASUHAN
Unsur-unsur
intrinsik yang terdapat di dalam novel “Salah Asuhan”
-
Tokoh dan
karakternya:
a. Corrie.
Baik.
“O, sigaret
tante boleh habiskan satu dos. Sudah tentu enak, ayoh coba!” (164).
Mudah Bergaul.
“Oh, ruangan di
jantung tuan Hanafi amat luas,” kata Corrie sambil tertawa, “buat dua tiga
orang perempuan saja masih berlapang-lapang.” (7)
b. Hanafi.
Keras Kepala.
“Memang….kasihan!
Ah ibuku…aku pengecut tapi hidupku kosong…habis cita-cita baik…enyah!.” (259).
Kasar.
“ Hai
Buyung! Antarkan anak itu dahulu kebelakang!” kata Hanafi dengan suara bengis
dari jauh.” (80).
c. Rapiah.
Sabar.
“Rapiah tunduk,
tidak menyahut, airmatanya saja berhamburan. Syafei, dalam dukungan ibunya yang
tadinya menangis keras, lalu mengganti tangisnya dengan beriba-iba. Seakan-akan
tahulah anak kecil itu, bahwa ibunya yang tdak berdaya, sedang menempuh azab
dunia dan menanggung aib di muka-muka orang.” (83).
Baik.
“Apakah ayahmu
orang baik? Uah sungguh-sungguh orang baik. Kata ibuku tidak adalah orang yang
sebaik ayahku itu.” (238).
d. Ibu Hanafi.
Sabar.
“Astagfirullah,
Hanafi! Turutilah ibumu mengucap menyebut nama Allah bagimu dan tidak akan
bertutur lagi dengan sejauh itu tersesatnya” (85)
Baik.
“Sekarang sudah
setengah tujuh, sudah jauh terlampau waktu berbuka, Piah! Sebaik-baiknya
hendaklah engkau pergi makan dahulu.” (119).
e. Nyonya Brom.
Baik
“Ah, ah! Burung
merpati dua sejoli!”. (6)
Sopan.
“Ah, ah! Burung
merpati dua sejoli!” kata nyonya Brom dari jauh sambil tertawa dan mengacu-acukan
raketnya kepada anak muda itu. (6)
f. Tuan Brom.
Puitis.
Sepadan benar
dengan Corrie perbandingan nyonya dengan merpati itu. (6).
Baik.
Karena
kelihatan olehnya Tuan dan Nyonya Brom, administrator Afdelingsbank,
bersama-sama datang menuju ke tempat bermain tenis itu. (6)
g. Tuan Du Bussee.
Tegas.
“Tapi Corrie
mesti bersekolah yang sepatut-patutnya” (10).
h. Nyonya Samati
(Istri Tuan Du Bussee yang sudah meniggal, dia adalah seorang perempuan
Bumiputra) (9).
i. Simin. (13)
Penurut.
“Simin!” Kata
corrie, dengan suara keras dan nyaring.
“Saya, Non!”.
“Minta es…sama sirop asam..ohh, tidak sirop fanila saja..”
Sejurus lagi,
“Simin, ah mint air Belanda saja!” (13).
Baik.
Dengan
tergopoh-gopoh Simin mengeluarkan es dari Petinya. (13).
j. Si Buyung.
Penurut.
“engkau kugaji
buat kesenanganku dan bukan buat bermalas-malas. Hamba disuruh kejalan. Diam!
Bawa anak itu ke belakang. Angkat teh ke kebun. Sibuyung menolak kereta itu
sampai ke dapur, lalu menceritakan apa yang diperintahkan kepadanya. Oleh
karena gula habis’ terpaksalah ia disuruh ke toko yang tidak berapa jauh
letaknya dari rumah.” (80)
k. Syafei.
Berani.
“Itulah yang
kusukai, bu. Sekian musuh nanti kusembelih dengan pedangku.” (196).
l. Nyonya Bergen. (Guru Sekolah) (7)
-
Tema
a. Setiap kita bertukar pikiran tentang hal itu, pada akhirnya engkau
senantiasa berkecil hati-hati seolah-olah malulah engkau, bahwa masuk golongan
bumi putera, yang kau sangka aku menghinakannya. (2)
b. Pusaka yang akan ditinggalkan buat anaknya tidaklah berarti, haruslah
anak itu memperoleh ilmu dunia yang setinggi-tingginya buat bekal hidupnya.
(10).
-
Alur (Plot).
a. Cahaya matahari yang diteduhkan oleh daun-daun di tempat
bermain itu, masih keras karena dewasa itu baru pukul tengah lima petang hari.
(1)
b. Di dalam dua Tahun yang sudah terlampaui itu. (93).
c. Belum setahun ia meninggalkan ayahnya buat meneruskan
sekolahnya di betawi. (93).
-
Amanat.
a. Segala orang harus menerima baik apa yang hendak dilakukan
oleh sesama manusia baik atas dirinya sendiri. (1)
b. Janganlah melupakan adat istiadat negeri sendiri, jikalau ada
adat istiadat dari bangsa lain, boleh saja kita menerima tapi harus pandai
memilih, yaitu pilihlah adat yang layak dan baik kita terima di negeri kita.
c. Jangan memaksakan suatu pernikahan yang tidak pernah diinginkan
oleh pengantin tersebut, karena akhirnya akan saling menyiksa keduanya.
-
Latar/Setting.
a.
Tempat bermain Tenis (1)
“Tempat bermain
tennis, yang dilindungi oleh pohon-pohon ketapang disekitarnya, masih sunyi”.
b.
Kota Solok (3).
“Aku tahu buat
diriku sendiri, meskipun esok atau lusa di kota solok ini sudah lazim berjalan
berkeliaran memakai baju renang”
c.
Minangkabau (23)
“Sesungguhnya
ibunya orang kampung, dan selamanya tinggal di kampung saja, tapi sebabkasihan
kepada anak, ditinggalkannyalah rumah gedang di Koto Anau, dan tinggallah ia
bersma-sama dengan Hanafi di Solok.”
d.
Tanah pulau sumatera (3).
“Tetapi dalam
pergaulan Bangsamu, apabila di tanah Sumatera ini, lain keadaannya”.
e.
Di muka tangga rumah (8)
“Demikian
pulalah terjadi pada hari itu. Hanafi berjabatan tangan dengan Carrie di muka
tangga rumah Tuan du Bussee”.
f.
Kebun (8)
“Lima hari lagi
engkau akan mendiami kota ini, setiap hari kita duduk bersama-sama di dalam
kebun saja-apakah salah nya bergaya sekali ini di beranda muka rumahku? Dan aku
tidak tinggal membujang melainkan beserta ibuku”.
g.
Jalan Besar (8)
“Janganlah
lupa, kita ada di jalan besar, dan belum sampai ke sana Tuan!”.
h.
Hutan Belukar (9).
“Meskipun
umurnya sudah enam puluh tahun, tapi tidak ada hutan belukar yang tidak
dimasuki, tak ada gunung tinggi yang tidak terdaki”.
i. Pelabuhan teluk bayur (10).
j. Sekolah Mulo (10).
“Setamatnya di
sekolah rendah, bimbang pulalah hati ayahnya antara dia mengirimkan dia ke
padang Kesekolah Mulo atau Betawi ke HBS”.
k. Sekolah HBS (10).
“Setamatnya di
sekolah rendah, bimbang pulalah hati ayahnya antara dia mengirimkan dia ke
padang Kesekolah Mulo atau Betawi ke HBS”.
l. Sungai Ciliwung. (11).
“Bagi anak muda
yang hendak menghayutkan diri ke sungai ciliwung, jangan lupa menutup kepalamu
dengan topi mandi”.
m. Jalan Gunung Sari (103)
“Sekarang kita
ambil jalan Gunung Sari, Jembatan Merah Jakarta, Corrie!”
n. Betawi (23)
“Dari kecil
Hanafi sudah di sekolahkan di Betawi”
o. Semarang (186).
“Pada keesokan
harinya Hanafi sudah datang pula ke rumah tumpangan itu, dan bukan buatan sedih
hatinya, demikian mendengar bahwa Corrie sudah berangkat. Seketika itu ia
berkata hendak menurutkan ke Semarang.”
p. Surabaya (144).
“Di Surabaya
mereka menumpang semalam di suatu pension kecil,mengaku nama Tuan dan Nona Han,
yaitu sebagai dua orang saudara”
Identitas Buku:
Judul Buku :
Salah Asuhan
Pengarang :
Abdoel Moes
Penerbit :
Balai Pustaka
Tahun Terbit :
Jumlah Halaman : 262 Halaman.
Tebal Buku :
1.3 Cm
Bentuk Cover :

Sinopsis Novel:
Hanafi, laki-laki muda asli
Minangkabau, berpendidikan tinggi dan berpandangan kebarat-baratan. Bahkan ia
cenderung memandang rendah bangsanya sendiri. Dari kecil Hanafi berteman dengan
Corrie du Bussee, gadis Indo-Belanda yang amat cantik parasnya, lincah dan
menjadi dambaan setiap pria yang mengenalnya. Karena selalu bersama-sama mereka
pun saling mencintai. Setiap hari mereka berdua bermain tenis. Tapi cinta
mereka tidak dapat disatukan karena perbadaan bangsa. Jika orang Bumiputera
menikah dengan keturunan Belanda maka mereka akan dijauhi oleh para sahabatnya
dan orang lain. Untuk itu Corrie pun meninggalkan Minangkabau dan pergi ke
Betawi agar hilanglah perasaan Corrie kepada Hanafi. Perpindahan itu sengaja ia
lakukan untuk menghindar dari Hanafi dan sekaligus untuk meneruskan sekolahnya
di sana.
Tuan du bussee adalah ayah Corrie. Dia
adalah orang prancis yang sudah pension dari jabatan arsiteknya. Di hari
pensiunnya dia menghabiskan waktu untuk anaknya Corrie. Tapi dia juga suka
dengan berburu, meski umurnya sudah enam puluh Tahun. Tidak ada hutan belukar
yang tidak dia kunjungi. Apa bila senapan itu meletus, dapatlah seeokor
penghuni rimba. Kulitnya di jemur lalu dikirim ke paris. Dari situlah biaya
kehidupan Corrie untuk bersekolah dan untuk makan mereka berdua sebab istri
Tuan Du bussee sudah meninggal sejak Corrie masih kecil. Pada waktu itu
juga dia tidak sampai hati meninggalkan kuburan istrinya yang berada di solok.
Akhirnya ibu Hanafi ingin menikahkan
Hanafi dengan Rapiah. Rapiah adalah sepupu Hanafi, gadis Minangkabau sederhana
yang berperangai halus, taat pada tradisi dan adatnya. Ibu Hanafi ingin
menikahkan Hanafi dengan Rapiah yaitu untuk membalas budi pada ayah Rapiah yang
telah membantu membiayai sekolah Hanafi. Awalnya Hanafi tidak mau karena
cintanya hanya untuk Corrie saja. Tapi dengan bujukan ibunya walaupun terpaksa
ia menikah juga dengan Rapiah. Karena Hanafi tidak mencintai Rapiah, di rumah
Rapiah hanya diperlakukan seperti babu, mungkin Hanafi menganggap bahwa Rapiah
itu seperti tidak ada apabila banyak temannya orang Belanda yang datang ke
rumahnya. Hanafi dan Rapiah dikarunia seorang anak laki-laki yaitu Syafei.
Suatu hari Hanafi digigit anjing gila,
maka dia harus berobat ke Betawi agar sembuh. Di Betawi Hanafi dipertemukan
kembali dengan Corrie. Disana, Hanafi menikah dengan Corrie dan mengirim surat
pada ibunya bahwa dia menceraikan Rapiah. Ibu Hanafi dan Rapiah pun sangat
sedih tetapi walaupun Hanafi seperti itu Rapiah tetap sabar dan tetap tinggal
dengan Ibu Hanafi. Perkawinannya dengan Corrie ternyata tidak bahagia,
sampai-sampai Corrie dituduh suka melayani laki-laki lain oleh Hanafi. Akhirnya
Corrie pun sakit hati dan pergi dari rumah menuju Semarang. Corrie sakit
Kholera dan meninggal dunia. Hanafi sangat menyesal telah menyakiti hati Corrie
dan sangat sedih atas kematian Corrie, Hanafi pun pulang kembali ke kampung
halamannya dan menemui ibunya, disna Hanafi hanya diam saja. Seakan-akan
hidupnya sudah tidak ada artinya lagi. Hanafi sakit, kata dokter ia minum
sublimat (racun) untuk mengakiri hidupnya, dan akhirnya dia meninggal dunia.
Dua Tahun sudah terlampaui, Corrie
sudah banyak perubahan. Belum setahun corrie meneruskan sekolahnya di betawi,
ayahnya sudah meninggal. Demi menrima telegram dari Tuan Assisten Residen Solok
menyatakan hal kematian ayahnya itu, Corrie bagai tak dapat dilarai –larai dari
pada sedihnya. Corrie akhirnya memutuskan untuk pergi. Dia mulai membereskan
pakaiannya untuk berangkat ke solok untuk melihat kuburan ayahnya itu. Tetapi
di akhirinya lah keberangkatannya ke solok. Sebab dia tidak sanggup melihat
sendiri kuburan ayahnya karena di solok tidak ada tempatnya lagi untuk
mencurahkan isi hatinya. Akhirnya dia mengirimkan telegram ke pada Assisten
Residen supaya kuburan ayahnya di perlakukan secara layak. Sampai akhirnya umur
Corrie sudah 21 Tahun yang tinggal di Weeskamer. Akhirnya dia dapat menerima
peninggalan dari ayahnya.
Kekurangan dan
Kelebihan Novel:
a. Kelebihan Novel “Salah Asuhan”.
Novel ini
menceritakan peraturan adat istiadat yang membuat kita sadar akan pentingnya
hal tersebut.
Menceritakan
kelakuan seorang anak terhadap Orangtuanya yang selalu kasar, hingga pada
akhirnya anak itu akan sadar.
b. Kelemahan Novel “Salah Asuhan”.
Teralalu banyak
bahasa yang mengandung pengertian dari bahasa lain seperti bahasa belanda.
Sangat sulit untuk di simak, ini karena bercampurny bahasa Indonesia dengan
bahasa belanda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar