Sabtu, 02 Mei 2015

MENULIS TEKNIS/PRAKTIS RESENSI



MENULIS TEKNIS/PRAKTIS RESENSI

            Adapun langkah-langkah menulis teknis/praktis resensi adalah sebagai berikut:
·         Menentukan buku yang akan diresensi
-          Yaitu buku Novel “Salah Asuhan
·         Membaca buku yang akan diresensi
·         Menandai bagian-bagian yang akan dijadikan kutipan sebagai data
·         Menuliskan data-data penulisan resensi
·         Menuliskan identitas buku
·         Mengemukakan sinopsis novel
·         Mengemukakan kelebihan dan kekurang-an buku novel
·         Mengemukakan sasaran pembaca; dan
·         Revisi
RESENSI SALAH ASUHAN
Unsur-unsur intrinsik yang terdapat di dalam novel “Salah Asuhan”
-          Tokoh dan karakternya:
a.   Corrie.
Baik.
“O, sigaret tante boleh habiskan satu dos. Sudah tentu enak, ayoh coba!” (164).
Mudah Bergaul.
“Oh, ruangan di jantung tuan Hanafi amat luas,” kata Corrie sambil tertawa, “buat dua tiga orang perempuan saja masih berlapang-lapang.” (7)
b.   Hanafi.
Keras Kepala.
“Memang….kasihan! Ah ibuku…aku pengecut tapi hidupku kosong…habis cita-cita baik…enyah!.” (259).
Kasar.
 “ Hai Buyung! Antarkan anak itu dahulu kebelakang!” kata Hanafi dengan suara bengis dari jauh.” (80).
c.  Rapiah.
Sabar.
“Rapiah tunduk, tidak menyahut, airmatanya saja berhamburan. Syafei, dalam dukungan ibunya yang tadinya menangis keras, lalu mengganti tangisnya dengan beriba-iba. Seakan-akan tahulah anak kecil itu, bahwa ibunya yang tdak berdaya, sedang menempuh azab dunia dan menanggung aib di muka-muka orang.” (83).
Baik.
“Apakah ayahmu orang baik? Uah sungguh-sungguh orang baik. Kata ibuku tidak adalah orang yang sebaik ayahku itu.” (238).
d. Ibu Hanafi.
Sabar.
“Astagfirullah, Hanafi! Turutilah ibumu mengucap menyebut nama Allah bagimu dan tidak akan bertutur lagi dengan sejauh itu tersesatnya” (85)
Baik.
“Sekarang sudah setengah tujuh, sudah jauh terlampau waktu berbuka, Piah! Sebaik-baiknya hendaklah engkau pergi makan dahulu.” (119).
e.  Nyonya Brom.
Baik
“Ah, ah! Burung merpati dua sejoli!”. (6)
Sopan.
“Ah, ah! Burung merpati dua sejoli!” kata nyonya Brom dari jauh sambil tertawa dan mengacu-acukan raketnya kepada anak muda itu. (6)
f.   Tuan Brom.
Puitis.
Sepadan benar dengan Corrie perbandingan nyonya dengan merpati itu. (6).
Baik.
Karena kelihatan olehnya Tuan dan Nyonya Brom, administrator Afdelingsbank, bersama-sama datang menuju ke tempat bermain tenis itu. (6)
g.  Tuan Du Bussee.
Tegas.
“Tapi Corrie mesti bersekolah yang sepatut-patutnya” (10).
h. Nyonya Samati (Istri Tuan Du Bussee yang sudah meniggal, dia adalah seorang perempuan Bumiputra) (9).
i. Simin. (13)
Penurut.
“Simin!” Kata corrie, dengan suara keras dan nyaring.
“Saya, Non!”. “Minta es…sama sirop asam..ohh, tidak sirop fanila saja..”
Sejurus lagi, “Simin, ah mint air Belanda saja!” (13).
Baik.
Dengan tergopoh-gopoh Simin mengeluarkan es dari Petinya. (13).
j. Si Buyung.
Penurut.
“engkau kugaji buat kesenanganku dan bukan buat bermalas-malas. Hamba disuruh kejalan. Diam! Bawa anak itu ke belakang. Angkat teh ke kebun. Sibuyung menolak kereta itu sampai ke dapur,  lalu menceritakan apa yang diperintahkan kepadanya. Oleh karena gula habis’ terpaksalah ia disuruh ke toko yang tidak berapa jauh letaknya dari rumah.” (80)
k. Syafei.
Berani.
“Itulah yang kusukai, bu. Sekian musuh nanti kusembelih dengan pedangku.” (196).
l. Nyonya Bergen. (Guru Sekolah) (7)
-          Tema
a. Setiap kita bertukar pikiran tentang hal itu, pada akhirnya engkau senantiasa berkecil hati-hati seolah-olah malulah engkau, bahwa masuk golongan bumi putera, yang kau sangka aku menghinakannya. (2)
b. Pusaka yang akan ditinggalkan buat anaknya tidaklah berarti, haruslah anak itu memperoleh ilmu dunia yang setinggi-tingginya buat bekal hidupnya. (10).
-          Alur (Plot).
a.  Cahaya matahari yang diteduhkan oleh daun-daun di tempat bermain itu, masih keras karena dewasa itu baru pukul tengah lima petang hari. (1)
b.  Di dalam dua Tahun yang sudah terlampaui itu. (93).
c.  Belum setahun ia meninggalkan ayahnya buat meneruskan sekolahnya di betawi. (93).
-          Amanat.
a.  Segala orang harus menerima baik apa yang hendak dilakukan oleh sesama manusia baik atas dirinya sendiri. (1)
b.  Janganlah melupakan adat istiadat negeri sendiri, jikalau ada adat istiadat dari bangsa lain, boleh saja kita menerima tapi harus pandai memilih, yaitu pilihlah adat yang layak dan baik kita terima di negeri kita.
c. Jangan memaksakan suatu pernikahan yang tidak pernah diinginkan oleh pengantin tersebut, karena akhirnya akan saling menyiksa keduanya.
-          Latar/Setting.
a.       Tempat bermain Tenis (1)
“Tempat bermain tennis, yang dilindungi oleh pohon-pohon ketapang disekitarnya, masih sunyi”.
b.      Kota Solok (3).
“Aku tahu buat diriku sendiri, meskipun esok atau lusa di kota solok ini sudah lazim berjalan berkeliaran memakai baju renang”
c.    Minangkabau (23)
“Sesungguhnya ibunya orang kampung, dan selamanya tinggal di kampung saja, tapi sebabkasihan kepada anak, ditinggalkannyalah rumah gedang di Koto Anau, dan tinggallah ia bersma-sama dengan Hanafi di Solok.”
d.      Tanah pulau sumatera (3).
“Tetapi dalam pergaulan Bangsamu, apabila di tanah Sumatera ini, lain keadaannya”.
e.       Di muka tangga rumah (8)
“Demikian pulalah terjadi pada hari itu. Hanafi berjabatan tangan dengan Carrie di muka tangga rumah Tuan du Bussee”.
f.       Kebun (8)
“Lima hari lagi engkau akan mendiami kota ini, setiap hari kita duduk bersama-sama di dalam kebun saja-apakah salah nya bergaya sekali ini di beranda muka rumahku? Dan aku tidak tinggal membujang melainkan beserta ibuku”.
g.      Jalan Besar (8)
“Janganlah lupa, kita ada di jalan besar, dan belum sampai ke sana Tuan!”.
h.      Hutan Belukar (9).
“Meskipun umurnya sudah enam puluh tahun, tapi tidak ada hutan belukar yang tidak dimasuki, tak ada gunung tinggi yang tidak terdaki”.
i.   Pelabuhan teluk bayur (10).
j.   Sekolah Mulo (10).
“Setamatnya di sekolah rendah, bimbang pulalah hati ayahnya antara dia mengirimkan dia ke padang Kesekolah Mulo atau Betawi ke HBS”.
k.  Sekolah HBS (10).
“Setamatnya di sekolah rendah, bimbang pulalah hati ayahnya antara dia mengirimkan dia ke padang Kesekolah Mulo atau Betawi ke HBS”.
l.  Sungai Ciliwung. (11).
“Bagi anak muda yang hendak menghayutkan diri ke sungai ciliwung, jangan lupa menutup kepalamu dengan topi mandi”.
m. Jalan Gunung Sari (103)
“Sekarang kita ambil jalan Gunung Sari, Jembatan Merah Jakarta, Corrie!”
n.  Betawi (23)
“Dari kecil Hanafi sudah di sekolahkan di Betawi”
o.  Semarang (186).
“Pada keesokan harinya Hanafi sudah datang pula ke rumah tumpangan itu, dan bukan buatan sedih hatinya, demikian mendengar bahwa Corrie sudah berangkat. Seketika itu ia berkata hendak menurutkan ke Semarang.”
p.  Surabaya (144).
“Di Surabaya mereka menumpang semalam di suatu pension kecil,mengaku nama Tuan dan Nona Han, yaitu sebagai dua orang saudara”
Identitas Buku:
Judul Buku                  : Salah Asuhan
Pengarang                   : Abdoel Moes
Penerbit                       : Balai Pustaka           
Tahun Terbit                :
Jumlah Halaman          : 262 Halaman.
Tebal Buku                  : 1.3 Cm
Bentuk Cover              :
                                   

Sinopsis Novel:
Hanafi, laki-laki muda asli Minangkabau, berpendidikan tinggi dan berpandangan kebarat-baratan. Bahkan ia cenderung memandang rendah bangsanya sendiri. Dari kecil Hanafi berteman dengan Corrie du Bussee, gadis Indo-Belanda yang amat cantik parasnya, lincah dan menjadi dambaan setiap pria yang mengenalnya. Karena selalu bersama-sama mereka pun saling mencintai. Setiap hari mereka berdua bermain tenis. Tapi cinta mereka tidak dapat disatukan karena perbadaan bangsa. Jika orang Bumiputera menikah dengan keturunan Belanda maka mereka akan dijauhi oleh para sahabatnya dan orang lain. Untuk itu Corrie pun meninggalkan Minangkabau dan pergi ke Betawi agar hilanglah perasaan Corrie kepada Hanafi. Perpindahan itu sengaja ia lakukan untuk menghindar dari Hanafi dan sekaligus untuk meneruskan sekolahnya di sana.
Tuan du bussee adalah ayah Corrie. Dia adalah orang prancis yang sudah pension dari jabatan arsiteknya. Di hari pensiunnya dia menghabiskan waktu untuk anaknya Corrie. Tapi dia juga suka dengan berburu, meski umurnya sudah enam puluh Tahun. Tidak ada hutan belukar yang tidak dia kunjungi. Apa bila senapan itu meletus, dapatlah seeokor penghuni rimba. Kulitnya di jemur lalu dikirim ke paris. Dari situlah biaya kehidupan Corrie untuk bersekolah dan untuk makan mereka berdua sebab istri Tuan Du  bussee sudah meninggal sejak Corrie masih kecil. Pada waktu itu juga dia tidak sampai hati meninggalkan kuburan istrinya yang berada di solok.
Akhirnya ibu Hanafi ingin menikahkan Hanafi dengan Rapiah. Rapiah adalah sepupu Hanafi, gadis Minangkabau sederhana yang berperangai halus, taat pada tradisi dan adatnya. Ibu Hanafi ingin menikahkan Hanafi dengan Rapiah yaitu untuk membalas budi pada ayah Rapiah yang telah membantu membiayai sekolah Hanafi. Awalnya Hanafi tidak mau karena cintanya hanya untuk Corrie saja. Tapi dengan bujukan ibunya walaupun terpaksa ia menikah juga dengan Rapiah. Karena Hanafi tidak mencintai Rapiah, di rumah Rapiah hanya diperlakukan seperti babu, mungkin Hanafi menganggap bahwa Rapiah itu seperti tidak ada apabila banyak temannya orang Belanda yang datang ke rumahnya. Hanafi dan Rapiah dikarunia seorang anak laki-laki yaitu Syafei.
Suatu hari Hanafi digigit anjing gila, maka dia harus berobat ke Betawi agar sembuh. Di Betawi Hanafi dipertemukan kembali dengan Corrie. Disana, Hanafi menikah dengan Corrie dan mengirim surat pada ibunya bahwa dia menceraikan Rapiah. Ibu Hanafi dan Rapiah pun sangat sedih tetapi walaupun Hanafi seperti itu Rapiah tetap sabar dan tetap tinggal dengan Ibu Hanafi. Perkawinannya dengan Corrie ternyata tidak bahagia, sampai-sampai Corrie dituduh suka melayani laki-laki lain oleh Hanafi. Akhirnya Corrie pun sakit hati dan pergi dari rumah menuju Semarang. Corrie sakit Kholera dan meninggal dunia. Hanafi sangat menyesal telah menyakiti hati Corrie dan sangat sedih atas kematian Corrie, Hanafi pun pulang kembali ke kampung halamannya dan menemui ibunya, disna Hanafi hanya diam saja. Seakan-akan hidupnya sudah tidak ada artinya lagi. Hanafi sakit, kata dokter ia minum sublimat (racun) untuk mengakiri hidupnya, dan akhirnya dia meninggal dunia.
Dua Tahun sudah terlampaui, Corrie sudah banyak perubahan. Belum setahun corrie meneruskan sekolahnya di betawi, ayahnya sudah meninggal. Demi menrima telegram dari Tuan Assisten Residen Solok menyatakan hal kematian ayahnya itu, Corrie bagai tak dapat dilarai –larai dari pada sedihnya. Corrie akhirnya memutuskan untuk pergi. Dia mulai membereskan pakaiannya untuk berangkat ke solok untuk melihat kuburan ayahnya itu. Tetapi di akhirinya lah keberangkatannya ke solok. Sebab dia tidak sanggup melihat sendiri kuburan ayahnya karena di solok tidak ada tempatnya lagi untuk mencurahkan isi hatinya. Akhirnya dia mengirimkan telegram ke pada Assisten Residen supaya kuburan ayahnya di perlakukan secara layak. Sampai akhirnya umur Corrie sudah 21 Tahun yang tinggal di Weeskamer. Akhirnya dia dapat menerima peninggalan dari ayahnya.

Kekurangan dan Kelebihan Novel:
a.  Kelebihan Novel “Salah Asuhan”.
Novel ini menceritakan peraturan adat istiadat yang membuat kita sadar akan pentingnya hal tersebut.
Menceritakan kelakuan seorang anak terhadap Orangtuanya yang selalu kasar, hingga pada akhirnya anak itu akan sadar.
b.  Kelemahan Novel “Salah Asuhan”.
Teralalu banyak bahasa yang mengandung pengertian dari bahasa lain seperti bahasa belanda.
Sangat sulit untuk di simak, ini karena bercampurny bahasa Indonesia dengan bahasa belanda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar