Sabtu, 02 Mei 2015

ALIRAN LINGUISTIK "ALIRAN KONTEKS"



ALIRAN KONTEKS
 Oleh:
Muhammad Zulfadli
Leni Kurni Herlia
Puji Lestari
Resty Anindita Fitriani

1.   Pengertian Aliran
Teori konteks merupakan suatu teori kebahasaan yang diperkenalkan oleh aliran London yang disebut dengan Contextual Approach atau Operational Approach. Firth sebagai tokoh dalam aliran ini telah meletakkan dasar tentang fungsi sosial bahasa. Tokoh-tokoh yang lain misalnya Halliday dan Dell Hymes (Umar, 1982). Menurut pencetus aliran ini, makna suatu kata terletak pada penggunaannya. Selanjutnya Firth sebagaimana yang dikutip oleh Umar (1982) menegaskan bahwa makna suatu kata tidak akan terungkap tanpa diletakkan ke dalam unit bahasa, yakni tanpa diletakkan ke dalam konteks yang berbeda. Sejalan dengan pendapat tersebut, Kushartanti, dkk (2005:215) konteks merupakan satuan-satuan terstruktur yang merupakan komposit bentuk dan arti. Bentuk bahasa tidak dapat dipisahkan dari artinya. Sebuah bentuk bahasa mendapatkan arti dari konteks bahasanya.
Dalam buku Pateda (1988:104) konsep teori ini ditokohi oleh antropolog Inggris Bronislaw Malinowski. Malinowski berpendapat bahwa untuk memahami ujaran, harus diperhatikan konteks situasi. Berdasarkan konteks situasi itu, kita dapat memecahkan aspek bermakna bahasa.
Konteks situasi merupakan locus tempat berkembangnya teks. Konteks situasi mencakup seluruh lingkungan baik itu lingkungan tutur maupun lingkungan teks. Berkaitan dengan itu penafsiran teks harus diikuti dengan pemahanan tentang konteks situasi dan konteks budaya. Menurut Halliday ada tiga konteks situasi yakni medan wacana, pelibat wacana dan modus wacana.
Selain pendapat di atas, dalam situs (http://bangpek-kuliahsastra.blogspot.com) Eggins menjelaskan bahwa konteks situasi adalah lingkungan sosial di mana wacana itu berada. Konteks situasi merupakan kerangka sosial yang digunakan untuk membuat dan memahami wacana dengan tepat, dalam pengertian sesuai dengan konteksnya. Sebagai kerangka untuk membuat wacana, konteks situasi itu merupakan faktor eksternal yang secara tidak langsung terlibat dalam isi wacana itu sendiri. Dengan kata lain, konteks situasi juga menjadi bagian dari isi wacana tersebut meskipun tidak dapat dilihat secara konkret. Situasi merupakan lingkungan tempat teks. Konteks situasi adalah keseluruhan lingkungan, baik lingkungan tutur (verbal) maupun lingkungan tempat teks itu diproduksi (diucapkan atau ditulis). Sesuatu pemerian yang lengkap perlu diberikan perian tentang latar belakang budayanya secara keseluruhan, bukan hanya hal yang sedang terjadi, tetapi juga sejarah budaya secara keseluruhan yang ada di belakang para pemeran dan kegiatan yang terjadi. Untuk memahami teks dengan sebaik-baiknya diperlukan pemahaman terhadapkonteks situasi dan konteks budayanya.
Konteks adalah latar belakang pengetahuan yang diperkirakan dimiliki dan disetujui bersama oleh pembicara atau penulis dan penyimak atau pembaca serta yang menunjang interpretasi penyimak atau pembaca terhadap apa yang dimaksud pembaca atau penulis dengan suatu ucapan tertentu (Tarigan 1987:35). Dalam berkomunikasi, masyarakat yang bertutur tidak terlepas dari situasi tuturannya. Suatu tuturan yang dilakukan oleh seorang penutur tidak boleh mengabaikan dampak-dampak dari tindak tutur karena dampak itu timbul disebabkan oleh tuturan para penutur. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa suatu bahasa yang dipakai oleh seorang penutur dapat ditangkap maksudnya oleh lawan tutur sesuai dengan konteks situasi yang melingkupi peristiwa tutur.
Menurut Tarigan (1987:33), bentuk dan makna bahasa harus disesuaikan dengan konteks dan situasi atau keadaan. Situasi dan konteks yang berbeda dapat menyebabkan suatu penafsiran yang berbeda pula dalam bahasa. Keanekaragaman bahasa dapat juga ditentukan oleh faktor yang berakar dari konteks dan situasi seperti: letak geografis, situasi berbahasa, situasi sosial, dan kurun waktu. Berdasarkan pendapat tersebut, dapat dikatakan bahwa situasi dan konteks yang berbeda dapat menyebabkan bahasa yang beragam karena dengan situasi atau tempat yang berbeda dapat menyebabkan makna tuturan menjadi berbeda.
Konteks ada yang bersifat linguistik dan non-linguistik (ekstra linguistik). Konteks linguistik menjadi wilayah kajian semantik, sedangkan konteks non-linguistik (ekstra linguistik) menjadi wilayah kajian pragmatik. Konteks linguistik mengacu pada suatu makna yang kemunculannya dipengaruhi oleh struktur kalimat atau keberadaan suatu kata atau frase yang mendahului atau mengikuti unsur-unsur bahasa (kata/frase) dalam suatu kalimat.
Perhatikan contoh berikut ini :
Contoh A:
1.   Ali memetik bunga di halaman rumahnya.
2. Fatimah itu bunga di desanya.
3. Mereka belajar bahasa Arab.
4. Antara sesama menteri tidak ada kesatuan bahasa.
Kata bunga contoh A (1) berbeda maknanya dengan kata bunga pada contoh A (2). Kata bunga pada A (1) mengacu pada bagian tumbuhan yang akan menjadi buah dan biasanya elok warnanya dan harum baunya. Bunga juga berarti kembang, kata bunga pada A (2) tidak sama maknanya dengan yang ada pada A (1). Kata bunga pada A (2) ini mengacu pada Fatimah. Unsur yang mempengaruhi perbedaan makna dari kedua kata yang sama tersebut adalah konteks. Kata kunci yang membedakan makna adalah kata memetik pada A (1) dan Fatimah pada A (2). Peristiwa yang sama juga terjadi pada kata bahasa sebagaimana dalam kalimat A (3) dan (4). Kata bahasa pada contoh A (3) berarti bahasa sebagai alat komunikasi yang dalam hal ini adalah bahasa Arab, sedangkan pada A (4) berarti tidak ada kesatuan pandangan atau pendapat.
Sementara itu, yang dimaksud dengan konteks non-linguistik atau ekstra linguistik adalah suatu konteks yang unsur-unsur pembentuknya berada diluar struktur kalimat. Unsur-unsur konteks meliputi penyapa dan pesapa, konteks sebuah tuturan, tujuan sebuah tuturan, tuturan sebagai bentuk tindakan, dan tuturan sebagai produk suatu tindak verbal (bukan tindak verbal itu sendiri) (Leech, 1983). Menurut Purwo (1990), unsur-unsur konteks adalah siapa yang mengatakan kepada siapa, tempat, dan waktu diujarkannya pada suatu kalimat.
Halliday dalam (http://bangpek-kuliahsastra.blogspot.com) Bahasa adalah kontekstual karena pemahaman tentang bahasa terletak dalam kajian teks. Ada teks dan ada teks lain yang menyertainya: teks yang menyertai teks itu disebut konteks. Namun, pengertian mengenai hal yang menyertai teks itu meliputi tidak hanya yang dilisankan atau ditulis, tetapi juga meliputi kejadian-kejadian yang nonverbal lainnya pada keseluruhan lingkungan teks itu.

2.      Karakteristik Aliran
Ciri-Ciri Konteks
§  Satuan-satuan terstruktur yang merupakan komposit (gabungan) bentuk dan arti. Sebuah bentuk bahasa mendapatkan arti dari konteks bahasanya.
  • Suatu bunyi, kata, atau frase yang mendahului dan mengikuti suatu unsur bahasa dalam ujaran.
  • Ciri-ciri alam di luar bahasa yang menumbuhkan makna pada ujaran atau wacana.
  • Secara fungsional, konteks mempengaruhi makna kalimat atau ujaran

3.   Latar Belakang Munculnya Aliran Konteks
Pemakaian bahasa pada umumnya dan di dalam penulisan, khususnya tidak pernah bersifat monoton dan homogen tetapi selalu dalam bentuk variasi. Variasi bahasa yang digunakan dipengaruhi oleh situasi kontekstual yang bisa dimengerti melalui pendekatan etnografi komunikasi. Istilah konteks situasi (context of situation) pertama diciptakan oleh Bronislaw Malinowski (1923), seorang antropolog yang penelitiannya banyak sekali dilakukan di wilayah gugusan pulau Pasifik Selatan yakni kepulauan Trobriand.
Teori konteks merupakan suatu teori kebahasaan yang diperkenalkan oleh aliran London yang disebut dengan Contextual Approach atau Operational Approach. Firth sebagai tokoh dalam aliran ini telah meletakkan dasar tentang fungsi sosial bahasa. Tokoh-tokoh yang lain misalnya Halliday dan Dell Hymes (Umar, 1982). Menurut pencetus aliran ini, makna suatu kata terletak pada penggunaannya. Selanjutnya Firth sebagaimana yang dikutip oleh Umar (1982) menegaskan bahwa makna suatu kata tidak akan terungkap tanpa diletakkan ke dalam unit bahasa, yakni tanpa diletakkan ke dalam konteks yang berbeda. Sejalan dengan pendapat tersebut, Kushartanti, dkk (2005:215) konteks merupakan satuan-satuan terstruktur yang merupakan komposit bentuk dan arti. Bentuk bahasa tidak dapat dipisahkan dari artinya. Sebuah bentuk bahasa mendapatkan arti dari konteks bahasanya.
Konteks adalah latar belakang pengetahuan yang diperkirakan dimiliki dan disetujui bersama oleh pembicara atau penulis dan penyimak atau pembaca serta yang menunjang interpretasi penyimak atau pembaca terhadap apa yang dimaksud pembaca atau penulis dengan suatu ucapan tertentu (Tarigan 1987:35). Dalam berkomunikasi, masyarakat yang bertutur tidak terlepas dari situasi tuturannya. Suatu tuturan yang dilakukan oleh seorang penutur tidak boleh mengabaikan dampak-dampak dari tindak tutur karena dampak itu timbul disebabkan oleh tuturan para penutur. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa suatu bahasa yang dipakai oleh seorang penutur dapat ditangkap maksudnya oleh lawan tutur sesuai dengan konteks situasi yang melingkupi peristiwa tutur.
Menurut Tarigan (1987:33), bentuk dan makna bahasa harus disesuaikan dengan konteks dan situasi atau keadaan. Situasi dan konteks yang berbeda dapat menyebabkan suatu penafsiran yang berbeda pula dalam bahasa. Keanekaragaman bahasa dapat juga ditentukan oleh faktor yang berakar dari konteks dan situasi seperti: letak geografis, situasi berbahasa, situasi sosial, dan kurun waktu. Berdasarkan pendapat tersebut, dapat dikatakan bahwa situasi dan konteks yang berbeda dapat menyebabkan bahasa yang beragam karena dengan situasi atau tempat yang berbeda dapat menyebabkan makna tuturan menjadi berbeda.
Konteks ada yang bersifat linguistik dan non-linguistik (ekstra linguistik). Konteks linguistik menjadi wilayah kajian semantik, sedangkan konteks non-linguistik (ekstra linguistik) menjadi wilayah kajian pragmatik. Konteks linguistik mengacu pada suatu makna yang kemunculannya dipengaruhi oleh struktur kalimat atau keberadaan suatu kata atau frase yang mendahului atau mengikuti unsur-unsur bahasa (kata/frase) dalam suatu kalimat.
Perhatikan contoh berikut ini :
Contoh A:
4.   Ali memetik bunga di halaman rumahnya.
2. Fatimah itu bunga di desanya.
3. Mereka belajar bahasa Arab.
4. Antara sesama menteri tidak ada kesatuan bahasa.
Kata bunga contoh A (1) berbeda maknanya dengan kata bunga pada contoh A (2). Kata bunga pada A (1) mengacu pada bagian tumbuhan yang akan menjadi buah dan biasanya elok warnanya dan harum baunya. Bunga juga berarti kembang, kata bunga pada A (2) tidak sama maknanya dengan yang ada pada A (1). Kata bunga pada A (2) ini mengacu pada Fatimah. Unsur yang mempengaruhi perbedaan makna dari kedua kata yang sama tersebut adalah konteks. Kata kunci yang membedakan makna adalah kata memetik pada A (1) dan Fatimah pada A (2). Peristiwa yang sama juga terjadi pada kata bahasa sebagaimana dalam kalimat A (3) dan (4). Kata bahasa pada contoh A (3) berarti bahasa sebagai alat komunikasi yang dalam hal ini adalah bahasa Arab, sedangkan pada A (4) berarti tidak ada kesatuan pandangan atau pendapat.
Sementara itu, yang dimaksud dengan konteks non-linguistik atau ekstra linguistik adalah suatu konteks yang unsur-unsur pembentuknya berada diluar struktur kalimat. Unsur-unsur konteks meliputi penyapa dan pesapa, konteks sebuah tuturan, tujuan sebuah tuturan, tuturan sebagai bentuk tindakan, dan tuturan sebagai produk suatu tindak verbal (bukan tindak verbal itu sendiri) (Leech, 1983). Menurut Purwo (1990), unsur-unsur konteks adalah siapa yang mengatakan kepada siapa, tempat, dan waktu diujarkannya pada suatu kalimat.

Konteks Budaya
Keberhasilan mempelajari bahasa asing banyak bergantung pada kemampuan belajar melakukan prakiraan-prakiraan yang benar. Jika seorang pelajar yang masuk sekolah dengan bahasa pertama bukan bahasa Inggris mendapatkan kesulitan memakai bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar, barangkali antara lain karena ia belum belajar memperkirakan dalam bahasa Inggris yaitu memakai konteks dengan cara mengira-ngira.
Bagaimanapun juga konteks situasi hanyalah merupakan lingkungan yang langsung. Masih ada latar belakang lebih luas yang harus diacu dalam menafsirkan teks, yaitu konteks budaya. Setiap konteks situasi yang sebenarnya, susunan medan tertentu, pelibat, dan sarana yang telah membentuk teks itu, bukanlah suatu kumpulan ciri yang acak, melainkan suatu keutuhan bolehlah dikatakan sebagai suatu paket (package) yang secara khas bergandengan dalam suatu budaya. Orang melakukan hal tertentu pada kesempatan tertentu dan memberinya makna dan nilai, inilah yang dimaksud dengan kebudayaan.
Sekolah merupakan contoh yang bagus tentang hal yang dalam jargon masa kini dapat disebut sebagai suatu “pertemuan” antara konteks situasi dan konteks budaya. Bacaan dari buku teks selalu mempunyai konteks situasi: pelajaran, dengan konsepnya tentang apa yang harus dicapai; hubungan guru dengan murid, atau penulis buku teks dengan pembaca.
Semua faktor itu membentuk konteks budaya, dan secara bersama menentukan penafsiran teks dalam konteks situasinya. Demikian juga sebagai calon guru, ketika kita berdiri di depan kelas dan berbicara, atau ketika kita memberikan tugas kepada murid seperti menulis laporan atau karangan, atau ketika kita menilai penampilan mereka dalam tugas-tugas tertentu.

5.   Tokoh-tokoh aliran dan teori yang dikemukakan
1)      Konsep Bronislaw Malinowski tentang Konsep Situasi
Bronislaw Malinowski merupakan seorang atropolog Inggris. Malinowski berpendapat bahwa untuk memahami ujaran, harus diperhatikan konteks situasi. Berdasarkan analisis konteks situasi itu, kita dapat memecahkan aspek-aspek bermakna bahasa sehingga aspek linguistik dan aspek non linguistik dapat di korelasikan. Pada situs (http:/www.bimbie.com/aliran-linguistik-london.htm) dijelaskan Pandangan Malinowski tentang makna dalam bahasa disebut ‘konteks situasi’. Gagasan inilah yang kemudian diambil dan dikembangkan oleh J.R. Firth. Menurut Malinowski, makna tuturan itu seperti yang terdapat konteks situasi.
Istilah konteks situasi (context of situation) pertama kali diciptakan oleh Bronislaw Malinowski (1923), seorang antropolog yang penelitiannya banyak sekali dilakukan di wilayah gugusan pulau Pasifik Selatan yakni kepulauan Trobriand. Kelompok masyarakat yang mendiami kepulauan ini hidup sebagai nelayan dan bercocok tanam. Bahasa mereka disebut bahasa Kiriwini. Di samping sebagai seorang antropolog yang handal Malinowski juga seorang linguis alami yang berbakat karena dengan cepat dia mampu berbicara menggunakan bahasa setempat. Walaupun selama penelitiannya tentang budaya Trobriand dia mampu menggunakan bahasa Kiriwini tetapi Malinowski mengalami kesulitan untuk menginterpretasi dan menjelaskan ide tentang budaya setempat kepada pembaca penutur bahasa Inggris.
Malinowski memiliki banyak sekali teks dalam bahasa Kiriwini. Di dalam mempresentasikan teks-teks tersebut dia menggunakan berbagai metode. Prinsipnya dia ingin memberikan komentar yang luas berbeda dengan apa yang dilakukan oleh para filolog dalam menyunting dan menterjemahkan naskah-naskah tertulis kuna. Dia memberikan suatu komentar yang menempatkan teks pada lingkungan hidupnya. Mulai saat inilah kata “context” dalam bahasa Inggris berarti ‘con-text’ yakni kata-kata dan kalimat sebelum dan sesudah kalimat tertentu yang sedang diamati. Malinowski mencari suatu istilah yang bisa mengungkapkan keseluruhan lingkungan teks termasuk lingkungan verbal mencakup juga situasi di mana teks tersebut diciptakan. Melalui artikel yang ditulis tahun 1923 dia menciptakan istilah context of situation yang berarti ‘the environment of the text’ (Halliday, 1985:5-6).
Lebih jauh Malinowski juga memandang bahwa dalam menjelaskan suatu teks kita tidak hanya memberikan lingkungan langsung, dengan kata lain, hanya memberikan informasi mengenai apa yang terjadi pada saat itu tetapi juga keseluruhan latar belakang budaya dengan pemikiran bahwa yang terlibat di dalam setiap interaksi linguistik, dalam setiap jenis percakapan tidak hanya pemandangan langsung dan bunyi yang berada di sekitar kejadian tersebut, tetapi juga keseluruhan sejarah budaya di balik pelibat (participants), dan di balik setiap jenis kebiasaan yang dimiliki yang menentukan kebermaknaannya bagi budaya baik secara praktis ataupun ritual. Oleh karena itu di samping context of situation Malionowski juga menciptakan istilah yang ke dua yakni context of culture. Kedua konteks ini dipandang penting untuk bisa memahami teks secara lebih memadai. Walaupun Malinowski pada awalnya menyatakan bahwa konsep konteks situasi ini hanya diperlukan bagi pengkajian bahasa-bahasa ‘primitif’ tetapi kemudian (1935) dia menyadari bahwa pernyataan itu salah dan yakin bahwa konsep tersebut berlaku bagi semua bahasa baik bahasa orang primitif atau bahasa dari budaya tak tertulis maupun bahasa modern.
Malinowski mengemukakan isi teori konteks yaitu:
§  Makna tidak terdapat pada unsur-unsur lepas yang berwujud kata, tetapi terpadu pada ujaran secara keseluruhan
§  Makna kata tidak boleh ditafsirkan secara dualis (kata dan acuan) atau secara trialis (kata, acuan, tafsiran) tetapi makna merupakan satu fungsi atau tugas yang terpadu dalam tutur yang dipengaruhi situasi.


2)      Konsep Firth tentang Konteks Situasi
J. R. Firth adalah profesor pertama dalam bidang linguistik umum di Universitas Inggris yang juga merupakan kolega dari Malinowski. Firth tertarik pada latar belakang budaya bahasa, dan ia mengambil alih pemikiran Malinowski tentang konteks situasi dan memasukkannya ke dalam teori kebahasaannya sendiri. Dalam pandangan Firth, yang dikemukakan dalam makalah yang ditulisnya pada tahun 1935, semua ilmu bahasa adalah kajian tentang makna dan semua makna merupakan fungsi dalam konteks.
Istilah konteks situasi yang dipelopori oleh Malinowski telah menarik perhatian para linguis seperti J. R. Firth dalam memahami latar belakang budaya bahasa yang selanjutnya mengintegrasikan konsep tersebut dalam teori linguistik. Menurut Firth konsep Malinowski mengenai konteks situasi tidak memadai untuk kepentingan suatu teori linguistik karena belum bersifat umum. Konsep konteks situasi Malinowski dirancang untuk menjelaskan dan mememerinci makna konteks tertentu dari suatu penggunaan bahasa. Oleh karena itu, Firth membangun suatu kerangka kerja untuk mendeskripsikan konteks situasi yang dapat digunakan untuk mengkaji teks sebagai bagian dari teori linguistik umum. Deskripsi Firth (1950) tentang konteks situasi mencakup:
(a) participants yang mengacu person dan personalities yang secara sosiologis memiliki status dan peran,
(b) aksi (action) pelibat yakni apa saja yang dilakukan termasuk aksi verbal dan non   verbal.
(c) ciri situasi relevan lain yakni objek di sekitar dan kejadian yang berhubungan dengan apa yang sedang berlangsung, dan efek dari aksi verbal yakni perubahan apa yang dihasilkan oleh apa yang diucapkan tersebut.
John R. Firth (1890 - 1960) guru besar pada Universitas London juga sangat terkenal karena teorinya mengenai fonologi prosodi. Karena itulah, aliran yang dikembangkannya ini disebut Aliran Prosodi. Fonologi Prosodi adalah suatu cara untuk menentukan arti pada tataran fonetis, leksikal, situasional, dan gramatikal. Fonologi Prosodi terdiri dari satuan-satuan fonematis dan satuan prosodi. Satuan fonematis berupa unsur-unsur segmental, yaitu konsonan dan vokal, sedangkan satuan prosodi berupa ciri atau sifat struktur yang lebih panjang daripada suatu segmen tunggal. Ada tiga macam Prosodi, yaitu;
(1) Prosodi yang menyangkut gabungan fonem: struktur kata, struktur suku kata, gabungan konsonan, dan gabungan vocal;
(2)  Prosodi yang terbentuk oleh sendi atau jeda; dan
(3) prosodi yang realisasi fonetisnya melampaui satuan yang lebih besar daripada fonem suprasegmental.
Firth berpendapat bahwa, telaah bahasa harus memperhatikan komponen sosiologis. Tiap tutur kata harus dikaji dalam konteks situasinya, yaitu orang-orang yang berperan dalam masyarakat, kata-kata yang mereka ungkapkan, dan hal-hal lain yang berhubungan.

3)      Konsep Halliday tentang Konsep Situasi
Halliday (1985:9-10) meyakini bahwa terdapat prinsip-prinsip tertentu yang bisa digunakan untuk memilih cara yang memadai untuk mendeskripsikan konteks situasi yang bisa muncul dalam mengartikan peristiwa komunikasi. Prinsip sederhana yang memungkinkan berhasilnya suatu komunikasi tersebut adalah berupa kemampuan kita untuk mengetahui apa yang akan dikatakan seseorang. Kita membuat prediksi secara tidak sadar dan prosesnya secara umum di bawah tingkat kesadaran. Prediksi ini bisa dimungkinkan melalui konteks situasi.
Pada bagian lain Halliday (1985:45) menyatakan bahwa semua penggunaan bahasa memiliki suatu konteks, ciri-ciri tekstual memungkinkan situasi wacana menjadi koheren tidak saja dengan dirinya sendiri tetapi juga dengan konteks situasinya. Teks merupakan suatu contoh proses dan produk dari makna sosial dalam konteks situasi tertentu dan konteks situasi terbungkus dalam teks melalui hubungan sistematik antara lingkungan sosial di satu pihak dan pengorganisasian fungsi bahasa di pihak lain.
Konsep konteks situasi Halliday mencakup tiga aspek:
(a) medan wacana (field of discourse) yang mengacu pada apa yang terjadi, pada hakikat tindak sosial yang terjadi, dalam masalah apa partisipan terlibat di mana bahasa merupakan komponen yang esensial,
(b) tenor wacana yang mengacu siapa yang terlibat yakni partisipan, status dan perannya, termasuk jenis hubungan peran yang dimiliki satu sama lainnya baik yang bersifat permanen atau temporer, dan
(c) mode of discourse yang mengacu pada peran yang dimainkan oleh bahasa yakni apa yang diharapkan oleh pelibat dari penggunaan bahasa pada situasi tertentu.
Konsep Halliday tentang konteks situasi tersebut merupakan penjabaran teoretis linguistik terhadap konsep konteks situasi dari Malinowski karena terminalnya adalah pemahaman tentang makna teks. Walaupun demikian pengertian dan jangkauan ketiga aspek konteks situasi yang dikemukakan Halliday masih terkesan sangat luas dan tidak rinci sehingga memerlukan interpretasi-interpretasi dalam konteks memahami etnografi komunikasi secara komprehensif. Kedua konsep linguis (Halliday dan Firth) tentang konteks situasi memiliki kemiripan dalam fokus kajian yakni keduanya efektif dalam analisis suatu genre wacana tertentu. Yang membedakan adalah model Firth lebih condong pada kajian komunikasi verbal atau lisan sedangkan model Halliday lebih bagus diterapkan pada analisis tekstual karena diyakini bahwa prediksi-prediksi mengenai konteks situasi tersurat atau tersirat dalam struktur teks yang dikaji.

4)      Konsep Dell Hymes tentang Konteks Situasi
Hymes (1968) menyebutkan adanya unsur-unsur dalam setiap terjadinya hubungan berbahasa. Tokoh sosiolinguistik ini menekankan bahwa menjadi penutur yang kompeten berarti lebih dari sekedar mengenal tatabahasa (grammar). Menjadi penutur kompeten adalah mengetahui bagaimana bertutur dengan cara yang layak atau tepat secara budaya, kepada orang yang berbeda, tentang hal yang berbeda, dalam latar yang berbeda. Dalam kaitannya dengan meneliti kemampuan komunikasi, Hymes menyatakan penelitian harus terfokus pada apa yang disebut dengan aktifitas tutur (speech event). Ahli sosiolinguistik ini memperkenalkan suatu kerangka dimensi peristiwa komunikasi yang disebut SPEAKING framework.
(1) S (setting dan scene) mengacu pada latar di mana dan kapan terjadinya peristiwa wicara,
(2) P (partisipants) pada siapa saja yang terlibat,
(3) E (ends) pada apa yang ingin dicapai oleh pelibat,
(4) A (acts sequence) pada apa yang dikatakan dan dilakukan,
(5) K (keys) pada bagaimana nada emosi seperti serius, lembut, sedih dan sebagainya,
(6) I (instrumentalities) pada sarana yang menyangkut saluran (channels) seperti verbal, tertulis dan sebagainya dan kode (codes) seperti variasi dan cara pemakaian bahasa serta gaya berbicara,
(7) N (norms) pada norma-norma interaksi dan interpretasi (misalnya mengapa seseorang harus berprilaku seperti ini atau itu), dan
(8) G (genres) pada macam atau jenis peristiwa wicara.

6.   Penerapan Kajian Aliran Konteks (Jurnal, Artikel, dan KTI)
Teori aliran konteks ini digunakan atau diterapkan dalam sebuah jurnal pada situs (http://staff.unud.ac.id/~putrayadnya /konteks.pdf  ).  Penerapan teori ini dilakukan oleh Putrayudna dengan tulisannya yang berjudul ‘Konteks’. Putrayudna mengangkat buku yang berjudul Berbicara dalam Sastra Hindu karya I Wayan Jendra sebagai objek studi. Buku ini menunjukkan kedwibahasaan dan prilaku berbahasa penulisnya yang cukup menarik untuk dikaji dari disiplin sosiolinguistik. Karena BDSH merupakan suatu hasil kajian pustaka yang bersifat ilmiah maka penulisannya didominasi oleh ragam formal ilmiah dan adab disertai oleh ragam bidang (yang berhubungan dengan bahasa, linguistik, sosiolinguistik, sastra dan keagamaan yang menjadi pokok persoalan di dalamnya). Dengan latar belakang penulis yang berasal dari kalangan masyarakat ilmiah dan multilingual disertai pula dengan sifat tulisan yang ilmiah kemungkinan penulis untuk melakukan campur kode dan alih kode dalam penulisan BDSH sangat besar dan tak terhindarkan. Sebagai sumber acuan buku tersebut memiliki nilai pragmatis sendiri bagi pembacanya karena dengan membaca buku tersebut pembaca mendapat pengetahuan dan pemahaman tentang konsep-konsep bahasa, linguistik, sosiolinguistik, sastra, filsafat dan nilai-nilai dalam masyarakat Hindu.
Tulisan ini ditujukan untuk memberikan suatu critical review tentang konsep konteks situasi (context of situation) dari berbagai linguis (Firth, Halliday dan Hymes). Jangkauan pembicaraan dan kajian terbatas pada: (1) tinjauan teoretis mengenai konsep konteks situasi menurut Firth, Hallday, dan Hymes, (2) aplikasi model teoretis Hymes tentang konteks situasi (khususnya aspek instrumentalities) terhadap Berbicara dalam Sastra Hindu karya I Wayan Jendra.
Pendekatan yang digunakan dalam kajian terhadap BDSH bertumpu pada konsep etnografi komunikasi yang dikemukakan oleh Dell Hymes (1968). Hymes menyebutkan adanya unsur-unsur dalam setiap terjadinya hubungan berbahasa. Dengan mengidentikkan status komunikasi tulis dengan komunikasi lisan tersebut, sampai batas-batas tertentu, kerangka dimensi peristiwa komunikasi Hymes (1968), yang meliputi 8 komponen tutur atau komponen situasi kontekstual yang disingkat dalam akronim SPEAKING, dapat diaplikasikan dalam mengkaji BDSH. Dari segi situasi kontekstual aspek instrumentalities terkesan merupakan komponen yang paling dominan dalam mengungkap aspek-aspek situasi kontekstual suatu peristiwa komunikasi tertulis.
 
DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul.2007. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Halliday, M.A.K. dan Ruqaiya Hasan. 1992. Bahasa, Teks, dan Konteks. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Kushartanti, dkk. 2005. Pesona Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Lubis, Hamid Hasan. 1993. Analisis Wacana Pragmatik. Bandung: Angkasa.
Mansoer, Pateda. 1988. Linguistik Sebuah Pengantar. Gorontalo : Angkasa.
          www.kmp-malang.com

1 komentar:

  1. Perkenalkan, saya dari tim kumpulbagi. Saya ingin tau, apakah kiranya anda berencana untuk mengoleksi files menggunakan hosting yang baru?
    Jika ya, silahkan kunjungi website ini www.kbagi.com untuk info selengkapnya.

    Di sana anda bisa dengan bebas share dan mendowload foto-foto keluarga dan trip, music, video, filem dll dalam jumlah dan waktu yang tidak terbatas, setelah registrasi terlebih dahulu. Gratis :)

    BalasHapus