Rabu, 22 April 2015

Sastra Populer



Oleh:
Ratna Kharisma (1005121010)
Resty Anindita Fitriani (1005112730)
Ulli Sundari (1005120985)

1. LATAR BELAKANG
            Karya sastra pada khususnya tidak bisa terlepas dari perkembangan zaman itu sendiri. Perkembangan yang setiap saat terjadi di masyarakat mau tidak mau berpengaruh terhadap perkembangan karya sastra. karya sastra tidak terlepas dari pesan/tema yang diusungnya, maka tidak jarang pula muncul tuntutan untuk melakukan penyelesaian atas tema bersangkutan. Dengan demikian, cara penyelesaiannya tidaklah gampang, tidak pula artifisial, dan muncul tidak sebatas yang tampak dipermukaan, jika penyelesaiannya dilaksanakan secara gampang, ia akan masuk kedalam apa yang disebut sebagai sastra populer.  Sastra populer ditandai oleh penggunaan ragam bahasa tertentu yang dianggap tak standar, yang “menyimpang” dari kaidah-kaidah bahasa yang berlaku. Karena ragam bahasa yang digunakannya itulah, sastra populer dianggap sebagai sastra yang tidak bermutu dan tidak bermasa depan.
Menurut Ario Bimo kesalahan yang sering ditemui adalah mengenai kecermatan membedakan antara bahasa lisan dengan bahasa tulis. Pengarang bahasa populer kadang kala kurang memahami seperti penempatan titik dan koma kalimat. Menurutnya pengabaian terhadap tata bahasa, malah akan menghilangkan unsur-unsur penting dalam novel, tokoh, alur, tema, peneceritaan dan latar.
            Supaya kita mengerti betul dengan pentistilahan sastra populer dengan sastra, ada baiknya jika kita mengutip beberapa pendapat. Menurut Umar Kayam (1981:82) sebutan novel populer atau novel pop. Mulai merebak sesudah suksesnya novel Karmila dan Cintaku di Kampus Biru pada tahun 70-an. Sesudah itu novel hiburan tidak peduli mutunya, disebut juga novel pop. Kata pop erat diasosiasikan dengan kata populer, mungkin karena novel-novel itu sengaja ditulis untuk “selera populer” yang kemudian dikenal sebagai bacaan populer. Dan jadilah istilah “pop” itu sebagai istilah baru dalam dunia sastra.

2. PEMBAHASAN
    A. Sastra Populer
Sastra popular adalah sastra yang telah mengikuti perkembangan zaman. Dimana karya sastranya telah terpengaruh dengan kebudayaan barat. Sebutan “sastra populer” atau “sastra pop” sebenarnya sudah mulai bergema di tahun 70-an. Ketika, misalnya, novel Cintaku di Kampus Biru dan Karmila sukses di pasaran. Sebetulnya, Wacana popular dalam sastra di Indonesia pernah terjadi ketika maraknya karya dari penulis Tionghoa. Misalnya pada karya Bunga Roos Dari Tjikembang, Drama di Boven Digul, Drama dari Merapi, Drama dari Krakatau karya Kwee Tek Hoay dan lain-lain, Saat ini, wacana popular muncul lagi dalam dunia sastra kita. Dikatakan popular karena dianggap banyak disukai oleh masyarakat umum, sesuai dengan tren, atau sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan menguntungkan.

Keadaan tersebut membuat karya popular dijustifikasi sebagai karya yang bermutu rendah, yang hanya akan bergerak pada kepuasan-kepuasan sesaat. Padahal, jika kita menganalogikan keadaan boomingnya sastra popular semisal Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El-Shirazy, Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, dan lain sebagainya pada kondisi sastra Melayu Tionghoa yang juga bersifat popular, kita mungkin akan dapat menentukan sikap, di mana seharusnya kita berdiri dalam menilai karya-karya popular.

Dalam Culture and Environment yang ditulis oleh Leavis dan Thompson pada 1933, mereka menyalahkan fiksi popular karena menawarkan bentuk-bentuk berupa ‘kompensasi’ dan ‘distraksi’. Dikatakan kompensassi karena ia cenderung menambahkan ketidakmampuan seseorang pada penolakan untuk menghadapi realitas. Selain itu, Leavis dalam Fiction and the Reading Public menunjuk bahwa bagi pembaca fiksi romantis, kebiasaan membaca fiksi jenis itu akan melahirkan kebiasaan berfantasi dan akan menyebabkan ketidakmampuan berhadapan dengan kebutuhan lingkungan sosial. Menurut mereka, self-abuse itu cukup buruk, namun masih ada yang jauh lebih buruk, yakni kecanduan terhadap bacaan fiksi romantis.

Perkembangan industrialisasi berperan besar dalam memberikan ruang bagi tumbuhnya `sastra massa’ atau `sastra populer’, yaitu bentuk-bentuk sastra yang mempunyai akar pada kebutuhan, cara berpikir, pengetahuan, problematika dan selera orang-orang kebanyakan. Sastra macam ini menjadi bagian dari `industri budaya’ (culture industry), yang diproduksi untuk massa yang luas melalui pola-pola industrial. Ada semacam proses `kapitalisasi’, di mana sastra—dengan sengaja atau tak disengaja—menjadi tempat untuk mendapatkan keuntungan ekonomi, di dalam sebuah `komodifikasi budaya’ (commodification of culture).

Lain halnya dengan sastra popular islami, yang berawal dari majalah Annida dan mengusung dakwah Islam. Sejak tahun 1999 setelah penulis cerpen Annida bergelut di FLP, mereka melihat adanya kesamaan visi antara media dan juga penuslisnya.Tema Tuhan dan religiusitas Islami bukan hal baru dalam ranah sastra tanah air. Sejak lama tema tersebut telah jadi bagian dalam perkembangan sastra di Indonesia. Meski tak secara eksplisit menasbihkan diri sebagai sastra Islami, namun tak dapat dipungkiri sastra pencerahan yang diusung Danarto, sastra profetik oleh Kuntowijoyo, sastra sufistik oleh Abdul Hadi WM serta sastra transenden oleh Sutardji Calzoum Bachri merupakan sari pati dari sastra Islami. Pada tahun 1970-an, Abdul Hadi WM, Danarto, Fudoli Zaini, Ikranegara, Sutardji Calzoum Bachri, Taufiq Ismail, dan beberapa sastrawan lainnya pernah pula menggulirkan konsepsi sastra Islam secara lebih luas.

Jika para sastrawan terdahulu lebih memilih menyajikan nilai-nilai Islam secara implisit, tidak untuk generasi setelah reformasi. Mereka tampak lebih "berani" menyajikan Islam dalam tulisan, bahkan tak segan mengutip ayat Al-quran. Pada dasarnya, sastra popular Islami mampu menangkap kegelisahan zaman. Jika sastra berbicara mengenai representasi yang melihat segmentasi pembaca dan pembaca pun merasa terepresentasikan melalui karya, saya rasa tidak salah, sastra popular Islami menjadi sangat booming. Dalam keberadaan Indonesia yang mayoritas muslim, hal ini tentu tidak menjadi soal. Buktinya, Ayat-Ayat Cinta menjadi salah satu novel dengan penjualan terbanyak selain Laskar Pelangi, dan juga telah berkali-kali cetak ulang. Bahkan, banyak karya lain yang ikut meniru Ayat-Ayat Cinta atau Laskar Pelangi, mulai dari cerita hingga cover bukunya.

Lain dari pada itu, jika kita berbicara mengenai karya sastra, pada dasarnya setiap karya sastra mengandung ideologi yang ditawarkan kepada khalayak pembacanya. Booming Ayat-Ayat Cinta bisa saja mejadi sebuah penyebaran ideologi baru, bahwa dalam karya kita tidak harus malu-malu menyampaikan dakwah melalui karya semisal sastra. Segmentasinya yang lebih memilih “popular” dibandingkan dengan “serius” juga bisa menjadi salah satu bukti bahwa inilah satu-satunya cara agar dapat diterima oleh masyarakat luas, dan sangat mungkin juga berkaitan dengan prinsip-prinsip industrialisasi.

B. Sejarah Sastra Populer
Menurut Nenden Lilis sastra populer muncul dan menempati kurun waktu tertentu yang disetiap kurun waktu itu menunjukkan ciri-ciri yang khas. Dari kekhasan setiap kurun waktu itu dapat dideskripsikan periodisasi sastra populer, yaitu, periode zaman kolonial, periode 1950-1968-an, periode 1970-1990-an, dan periode era reformasi.

Sastra populer mulai dikenal pada masa pemerintahan Hindia-Belanda di abad 19. Pada zaman itu sastra jenis itu bertemakan cerita-cerita tentang kehidupan para nyai, cerita-cerita gaib, dan cerita percintaan yang tidak jarang dimbumbui seks. Jenis bacaan tersebut ditulis baik oleh orang Cina-Melayu maupun pribumi. Bahasa yang digunakan pada sastra jenis tersebut adalah bahasa Melayu-pasaran (rendahan). Karya pertama yang mengawali bangkitnya sastra populer di masa ini salah satunya berjudul Sobat Anak Anak karya Liem Kim Hok. Bacaan ini dianggap hanya menampilkan cerita yang ringan dengan maksud menghibur.

Tidak jarang pula para pengarang jenis ini menyelipkan ideologi tertentu. Contohnya pada fiksi yang ditulis R.M. Tirti Adhi Soerdjo yang memiliki kandungan paham komunis. Pada 1930-an, gejala karya sastra populer semakin menghangat dengan adanya terbitan “roman medan” yang kemudian dianggap sebagai roman picisan. Bacaan tersebut dikatakan murahan karena dalam isinya tidak mengandung kontemplasi yang serius, stereotip, dan dalam beberapa hal relatif mengeksploitasi seks. Pada zaman pendudukan Jepang (1942-1949) karya sastra populer mulai surut karena kondisi yang sedang penuh dengan pergolakan politik dan sosial. Baru pada masa kemerdekaan (1950-1968), muncul novel-novel dan cerpen-cerpen dengan cerita yang didominasi oleh tema percintaan yang dibumbui sensualitas, detektif, dan kobi.

Pada tahun 1970-an, bermunculan bacaan-bacaan yang dianggap populer seperti karya Abdullah Harahap (yang terkenal, misalnya Musim Cinta Telah Berlalu), Eddy D. Iskandar (Cowok Komersil, Gita Cinta dari SMA, Sok Nyentrik, Cewek Komersil), Teguh Esha (Ali Topan Anak Jalan), La Rose (Ditelan Kenyataan), Ike Soepomo (Kabut Sutra Ungu, Kembang Padang Kelabu), Marga T. (Karmila), Ashadi Siregar (Cintaku di Kampus Biru, Kugapai Cintamu, Frustasi Puncak Gunung). Yudhistira (Arjuna Mencari Cinta), dan sebagainya. Tahun tahun ini sastra populer mengalami pergeseran dari ciri sebelumnya. Sastra populer pada masa ini banyak ditulis kaum perempuan. Cerita-cerita yang mendominasi masa ini adalah masalah rumah tangga.

Pada tahun 1980-an, muncul karya Hilman berjudul Lupus yang populer di masyarakat. Selain itu pada dekade ini dikenal para penulis sastra populer semacam Gola Gong atau Zarra Zetira. Pada tahun 1990-an, fiksi populer relatif cukup tenggelam karena mengalami persaingan yang cukup signifikan terhadap perkembangan televisi swasta. Pada dekade ini masyarakat lebih menggunakan waktu luangnya dengan menonton tayangan layar kaca seperti sinetron.

Pada tahun 2000-an, sastra populer kembali berkembang dan beberapa karya sastra populer yang fenomonal kembali menduduki penjualan terbaik. Berbagai predikat dimunculkan dari penerbit untuk memperkuat segmen pembaca. Sebutlah istilah chick lit yang ditujukan untuk penggemar fiksi bertemakan percintaan perempuan dewasa, teen lit untuk kalangan pembaca remaja, atau fiksi islami khusus untuk pembaca muslim dengan tema dan nuansa religius yang tinggi. Beberapa karya dan penulis itu adalah Andrea Hirata dengan tetraloginya (Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Edensol, dan Maryamah Karpov), Habbiburahman el Shirezy (Ayat-Ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, Di Atas Sajadah Cinta, dll), atau penulis remaja Rahmania (Eiffel Im In Love, Lost In Love, dll), serta Andre Laksana (Lelaki Terindah, Abadilah Cinta, dan lain-lain).

Pasca orde Baru, yang sering disebut era reformasi, berkembang pesat karya-karya sastra popular dengan motif-motif keagamaan atau yang diistilahkan Moh. Irfan Hidayatullah sebagai Ispolit-Islam Popular Literature (jenis ini telah dirintis sejak sebelum reformasi). Berkembang pula novel dan cerpen-cerpen remaja yang menceritakan perempuan kosmopolitan dengan keseharian kehidupan perkotaan dalam karya-karya chicklit dan teenlit. Jenis-jenis cerita yang ada pada era sebelumnya memang masih berkembang sekali pun tidak mendominasi. Namun, pada periode ini sastra populer tidak banyak diwarnai tema-tema kekerasan (kriminalitas). Hal itu terjadi barangkali karena tayangan-tayangan berita kriminal di televisi telah cukup "memuaskan" masyarakat.

C. Hubungan Sastra Populer dengan Masyarakat
Sastra dalam masyarakat mengacu pada kedudukan produksi-konsumsi sastra dalam masyarakat. Perspektif tersebut menyarankan pentingnya meneliti produksi-konsumsi sastra dalam suatu masyarakat. Apakah karya sastra memiliki posisi penting atau tidak dalam sistem ekonomi masyarakatnya, menduduki posisi elite atau populer, memerankan posisi kunci dalam komunikasi budaya, semua itu merupakan persoalan sastra dalam suatu masyarakat.
Sastra dan masyarakat mengacu pada hubungan antara sastra dengan masyarakatnya. Perspektif tersebut menyarankan pentingnya meneliti hubungan reflektif antara sastra dengan masyarakat. Apakah karya sastra mencerminkan atau tidak kondisi masyarakatnya, merupakan cermin realitas suatu masyarakat atau merupakan dunia impian yang didambakan oleh masyarakat. Dengan demikian, perspektif ini menekankan pentingnya aspek mimetik sastra dan masyarakat.
Perbedaan konsep formula dengan genre pada dasarnya merupakan perbedaan antara jenis karya sastra dengan komponen pembentuknya. Genre merupakan bentuk yang tersusun dari berbagai komponen. Komponen itu sendiri tersusun dari berbagai unsur yang sesuai dengan fungsinya dalam membentuk keseluruhan. Dengan demikian, genre memiliki pengertian jenis karya sastra yang memiliki formula sebagai komponen pembentuknya. Dengan kata lain, formula adalah komponen struktural yang membentuk genre karya sastra.
Sastra populer sebagai sarana pemenuhan kebutuhan escape terletak pada faktor genre sastra tersebut yang memberikan impian yang berbeda dari kenyataan yang dialami oleh masyarakat pembacanya. Sastra populer sebagai sarana pemenuhan kebutuhan relaxation terletak pada faktor genre sastra tersebut yang difungsikan sebagai sarana hiburan oleh masyarakat pembacanya. Sarana escape sastra populer merupakan faktor penting yang membedakannya dengan sastra elite yang terikat secara lekat pada realitas kehidupan sehari-hari.
Fungsi escape ini memberikan harapan kehidupan yang berbeda dan dianggap lebih baik oleh pembacanya. Fungsi relaxation memberikan terapi yang melonggarkan ketegangan hidup yang dialami oleh pembacanya akibat tekanan-tekanan kehidupan sosial sehari-hari yang dialami oleh pembaca tersebut. Kedua fungsi tersebut menentukan efektivitas sastra populer bagi pembacanya. Faktor keindahan sastra populer terletak pada formulanya yang secara struktural tetap namun memiliki isi yang bervariasi.
Kekuatan teori simbolik sebagai salah satu kekuatan utama untuk menjelaskan fungsi kultural sastra pop adalah kemampuannya untuk menganalisis nilai-nilai kultural sastra populer. Kelemahan teori simbolik terletak pada ketidakmampuannya dalam menjabarkan selera masyarakat pembaca sastra populer. Kekuatan teori reflektif sebagai salah satu kekuatan utama untuk menjelaskan fungsi kultural sastra populer adalah kemampuannya untuk menganalisis hubungan reflektif antara sastra populer dengan sistem sosial budaya masyarakatnya. Kelemahan teori reflektif terletak pada ketidakmampuannya dalam menjabarkan sistem produksi-konsumsinya.
Proses dialektis antara sastra formula dengan kultur yang memproduksi dan mengkonsumsinya adalah bahwa formula sastra populer dalam sistem produksi ibarat resep masakan dalam sebuah restoran. Artinya, formula menentukan genre sastra populer sebagai menu yang diproduksi dan disediakan oleh produsen. Dari segi konsumsi, eksistensi sebuah genre sastra populer ditopang oleh sesuai atau tidaknya formula tersebut dengan selera masyarakat pembacanya. Dengan demikian proses dialektis tersebut menunjukkan adanya hubungan kesalingtergantungan antara formula sastra populer dengan sistem produksi konsumsinya. Seperti halnya kesalingtergantungan antara sebuah resep masakan dengan selera kuliner masyarakat.
Partisipasi antara pembaca dengan sastra populer yang dibacanya membentuk hubungan yang diistilahkan oleh Bob Ashley sebagai total culture. Artinya, baik modal budaya yang dimiliki oleh pembaca maupun modal budaya yang terdapat dalam sastra populer berperan dalam pembentukan produksi dan konsumsi makna secara kultural. Misalnya budaya roman berpartisipasi dalam pembentukan makna kultural roman bersama-sama dengan kultur roman pembacanya. Begitu pula, budaya cerita silat berpartisipasi dalam pembentukan makna kultural persilatan bersama-sama dengan kultur persilatan masyarakat pembacanya. Totalitas kultural itulah yang menentukan eksis atau tidaknya sastra populer dalam masyarakat
D. Perbandingan Sastra Lama dengan Sastra Popular
            Pada perkembangannya, sastra Indonesia terbagi menjadi beberapa periode. Secara umum, sastra Indonesia dapat dikelompokkan menjadi sastra Indonesia lama dan populer. Sastra Indonesia lama atau klasik adalah karya sastra yang berkembang sebelum ada pengaruh dari kebudayaan luar, khususnya kebudayaan Barat. Sastra lama diperkirakan lahir pada tahun 1500 sampai abad XIX. Adapun sastra Indonesia baru atau popular adalah karya sastra yang berkembang setelah adanya pengaruh kebudayaan Barat pada awal abad XX.
Beberapa kritikus sastra telah mengemukakan pendapatnya mengenai periodisasi sastra Indonesia ini, yakni sebagai berikut:
1. Zuber Usman berpendapat bahwa periodisasi sastra terbagi atas:
a. Kesusastraan lama
b. Zaman peralihan
c. Kesusastraan baru
1) Zaman Balai Pustaka (1908)
2) Zaman Pujangga Baru (1933)
3) Zaman Jepang (1942)
4) Zaman Angkatan ’45 (1945)
2. H.B. Jassin berpendapat bahwa periodisasi sastra dibagi menjadi:
a. Sastra Melayu
b. Sastra Indonesia Modern
1) Angkatan ’20
2) Angkatan ’33
3) Angkatan ’45
4) Angkatan ’66
5) Angkatan ’80

Dua pendapat tersebut, dapatlah diketahui bahwa karya-karya sebelum Angkatan ’20-an atau Balai Pustaka termasuk sastra Indonesia lama. Karya sastra lama, di antaranya hikayat, mite, fabel, legenda, pantun, syair, gurindam, dan mantera. Adapun karya-karya yang dimulai pada masa Balai Pustaka hingga perkembangannya sampai sekarang termasuk sastra Indonesia barn atau modern. Karya sastra Indonesia barn atau modem terbagi atas tiga jenis, yakni prosa (contoh: roman, novel, dan cerpen), puisi, dan drama.
            Karya sastra terbagi ke dalam karya sastra lama dan populer, baik dalam genre (jenis) puisi maupun prosa. Ciri karya sastra lama secara umum adalah bahasa yang dipergunakannya dan identitas penulisnya. Bahasa yang digunakan dalam karya sastra lama umumnya adalah Bahasa Melayu lama. Pebandingan Karya Sastra Lama Klasik dan Popul
 Sastra Lama
a. Puisi berbentuk terikat dan kaku
b. Prosa lama statis (sesuai dengan keadaan masyarakat lama yang mengalami perubahan lambat)
c. Istana sentris (cerita berkisah tentang kerajaan atau keluarga raja)
d. Prosa hampir seluruhnya berbentuk hikayat atau dongeng. Pembaca dibawa ke alam khayal.
e. Dipengaruhi oleh kesusastraan Hindu dan Arab
f. Pengarangtiya tidak diketahui (anonim)

Sastra Populer
a. Puisi bersifat bebas, baik bentuk maupun isinya
b. Prosa baru dinamis (selalu berubah dengan perkembangan masyarakat)
c. Masyarakat sentris (mengambil bahan dan kehidupan sehari-hari)
d. Karya sastra (puisi, novel, cerpen, drama) berdasarkan dunia nyata.
e. Dipengaruhi oleh kesusastraan Barat
f. Pengarangnya diketahui dengan jelas dan identitas penulis atau pengarangnya tidak diketahui (anonim). Secara khusus, puisi maupun prosa mempunyai ciri-ciri tersendiri.

E. Contoh Karya Sastra Populer dalam Novel Laskar Pelangi
Diangkat dari kisah nyata yang dialami oleh penulisnya sendiri, buku “Laskar Pelangi” menceritakan kisah masa kecil anak-anak kampung dari suatu komunitas Melayu yang sangat miskin Belitung. Anak orang-orang ‘kecil’ yang mencoba memperbaiki masa depan mereka.

SD Muhammadiyah (sekolah penulis ini), tampak begitu rapuh dan menyedihkan dibandingkan dengan sekolah-sekolah PN Timah (Perusahaan Negara Timah). Mereka tersudut dalam ironi yang sangat besar karena kemiskinannya justru berada di tengah-tengah gemah ripah kekayaan PN Timah yang mengeksploitasi tanah ulayat mereka.

Kesulitan terus menerus membayangi sekolah kampung itu. Sekolah yang dibangun atas jiwa ikhlas dan kepeloporan dua orang guru, seorang kepala sekolah yang sudah tua, Bapak Harfan Efendy Noor dan ibu guru muda, Ibu Muslimah Hafsari, yang juga sangat miskin, berusaha mempertahankan semangat besar pendidikan dengan terseok-seok. Sekolah yang nyaris dibubarkan oleh pengawas sekolah Depdikbud Sumsel karena kekurangan murid itu, terselamatkan berkat seorang anak idiot yang sepanjang masa bersekolah tak pernah mendapatkan rapor.

Sekolah yang dihidupi lewat uluran tangan para donatur di komunitas marjinal itu begitu miskin: gedung sekolah bobrok, ruang kelas beralas tanah, beratap bolong-bolong, berbangku seadanya, jika malam dipakai untuk menyimpan ternak, bahkan kapur tulis sekalipun terasa mahal bagi sekolah yang hanya mampu menggaji guru dan kepala sekolahnya dengan sekian kilo beras, sehingga para guru itu terpaksa menafkahi keluarganya dengan cara lain. Sang kepala sekolah mencangkul sebidang kebun dan sang ibu guru menerima jahitan.

       Kendati demikian, keajaiban seakan terjadi setiap hari di sekolah yang dari jauh tampak seperti bangunan yang akan roboh. Semuanya terjadi karena sejak hari pertama kelas satu sang kepala sekolah dan sang ibu guru muda yang hanya berijazah SKP (Sekolah Kepandaian Putri) telah berhasil mengambil hati sebelas anak-anak kecil miskin itu.

Dari waktu ke waktu mereka berdua bahu membahu membesarkan hati kesebelas anak-anak tadi agar percaya diri, berani berkompetisi, agar menghargai dan menempatkan pendidikan sebagai hal yang sangat penting dalam hidup ini. Mereka mengajari kesebelas muridnya agar tegar, tekun, tak mudah menyerah, dan gagah berani menghadapi kesulitan sebesar apapun. Kedua guru itu juga merupakan guru yang ulung sehingga menghasilkan seorang murid yang sangat pintar dan mereka mampu mengasah bakat beberapa murid lainnya. Pak Harfan dan Bu Mus juga mengajarkan cinta sesama dan mereka amat menyayangi kesebelas muridnya. Kedua guru miskin itu memberi julukan kesebelas murid itu sebagai para Laskar Pelangi.

Keajaiban terjadi ketika sekolah Muhamaddiyah, dipimpin oleh salah satu laskar pelangi mampu menjuarai karnaval mengalahkan sekolah PN dan keajaiban mencapai puncaknya ketika tiga orang anak anggota laskar pelangi (Ikal, Lintang, dan Sahara) berhasil menjuarai lomba cerdas tangkas mengalahkan sekolah-sekolah PN dan sekolah-sekolah negeri. Suatu prestasi yang puluhan tahun selalu digondol sekolah-sekolah PN.

Tak ayal, kejadian yang paling menyedihkan melanda sekolah Muhamaddiyah ketika Lintang, siswa paling jenius anggota laskar pelangi itu harus berhenti sekolah padahal cuma tinggal satu triwulan menyelesaikan SMP. Ia harus berhenti karena ia anak laki-laki tertua yang harus menghidupi keluarga, sebab ketika itu ayahnya meninggal dunia.

Belitong kembali dilanda ironi yang besar karena seorang anak jenius harus keluar sekolah karena alasan biaya dan nafkah keluarga justru disekelilingnya PN Timah menjadi semakin kaya raya dengan mengekploitasi tanah leluhurnya. Meskipun awal tahun 90-an sekolah Muhamaddiyah itu akhirnya ditutup karena sama sekali sudah tidak bisa membiayai diri sendiri, tapi semangat, integritas, keluruhan budi, dan ketekunan yang diajarkan Pak Harfan dan Bu Muslimah tetap hidup dalam hati para laskar pelangi.

Akhirnya kedua guru itu bisa berbangga karena diantara sebelas orang anggota laskar pelangi sekarang ada yang menjadi wakil rakyat, ada yang menjadi research and development manager di salah satu perusahaan multi nasional paling penting di negeri ini, ada yang mendapatkan bea siswa international kemudian melakukan research di University de Paris, Sorbonne dan lulus S2 dengan predikat with distinction dari sebuah universitas terkemuka di Inggris. Semua itu, buah dari pendidikan akhlak dan kecintaan intelektual yang ditanamkan oleh Bu Mus dan Pak Harfan. Kedua orang hebat yang mungkin bahkan belum pernah keluar dari pulau mereka sendiri di ujung paling Selatan Sumatera sana.

Banyak hal-hal inspiratif yang dimunculkan buku ini. Buku ini memberikan contoh dan membesarkan hati. Buku ini memperlihatkan bahwa di tangan seorang guru, kemiskinan dapat diubah menjadi kekuatan, keterbatasan bukanlah kendala untuk maju, dan pendidikan bermutu memiliki definisi dan dimensi yang sangat luas. Paling tidak laskar pelangi dan sekolah miskin Muhamaddiyah menunjukkan bahwa pendidikan yang hebat sama sekali tak berhubungan dengan fasilitas. Terakhir cerita laskar pelangi memberitahu kita bahwa bahwa guru benar-benar seorang pahlawan tanpa tanda jasa

4. KESIMPULAN
            Sastra populer merupakan suatu sastra dimana karya sastranya telah terpengaruh dengan kebudayaan lain seperti kebudayaan barat. Sastra populer ini karya-karyanya lebih mengacu pada perkembangan yang terjadi di masyarakat. Karya-karya sastra popular ini juga dibuat berdasarkan kisah nyata atau pengalaman dari penulisnya itu sendiri.

5. SARAN
Penulis menyadari bahwa makalah ini belum sempurna, penulis mengharapkan kepada pembaca kritik dan saran yang membangun terhadap makalah ini agar makalah ini bisa disempurnakan dan bermanfaat bagi para pembaca.



DAFTAR PUSTAKA



Tidak ada komentar:

Posting Komentar