Oleh:
Ratna Kharisma (1005121010)
Resty Anindita Fitriani (1005112730)
Ulli Sundari (1005120985)
1. LATAR BELAKANG
Karya sastra pada khususnya tidak bisa terlepas dari
perkembangan zaman itu sendiri. Perkembangan yang setiap saat terjadi di
masyarakat mau tidak mau berpengaruh terhadap perkembangan karya
sastra. karya sastra tidak terlepas dari pesan/tema yang diusungnya, maka
tidak jarang pula muncul tuntutan untuk melakukan penyelesaian atas tema
bersangkutan. Dengan demikian, cara penyelesaiannya tidaklah gampang, tidak
pula artifisial, dan muncul tidak sebatas yang tampak dipermukaan, jika
penyelesaiannya dilaksanakan secara gampang, ia akan masuk kedalam apa yang
disebut sebagai sastra populer. Sastra
populer ditandai oleh penggunaan ragam bahasa tertentu yang dianggap tak
standar, yang “menyimpang” dari kaidah-kaidah bahasa yang berlaku. Karena ragam
bahasa yang digunakannya itulah, sastra populer dianggap sebagai sastra yang
tidak bermutu dan tidak bermasa depan.
Menurut
Ario Bimo kesalahan yang sering ditemui adalah mengenai kecermatan membedakan
antara bahasa lisan dengan bahasa tulis. Pengarang bahasa populer kadang kala
kurang memahami seperti penempatan titik dan koma kalimat. Menurutnya
pengabaian terhadap tata bahasa, malah akan menghilangkan unsur-unsur penting
dalam novel, tokoh, alur, tema, peneceritaan dan latar.
Supaya kita mengerti betul dengan pentistilahan sastra
populer dengan sastra, ada baiknya jika kita mengutip beberapa pendapat.
Menurut Umar Kayam (1981:82) sebutan novel populer atau novel pop. Mulai
merebak sesudah suksesnya novel Karmila dan Cintaku di Kampus Biru pada tahun
70-an. Sesudah itu novel hiburan tidak peduli mutunya, disebut juga novel pop.
Kata pop erat diasosiasikan dengan kata populer, mungkin karena novel-novel itu
sengaja ditulis untuk “selera populer” yang kemudian dikenal sebagai bacaan
populer. Dan jadilah istilah “pop” itu sebagai istilah baru dalam dunia sastra.
2. PEMBAHASAN
A. Sastra Populer
Sastra popular
adalah sastra yang telah mengikuti perkembangan zaman. Dimana karya sastranya
telah terpengaruh dengan kebudayaan barat. Sebutan “sastra populer” atau
“sastra pop” sebenarnya sudah mulai bergema di tahun 70-an. Ketika, misalnya,
novel Cintaku di Kampus Biru dan Karmila sukses di pasaran. Sebetulnya, Wacana popular
dalam sastra di Indonesia pernah terjadi ketika maraknya karya dari penulis
Tionghoa. Misalnya pada karya Bunga Roos Dari Tjikembang, Drama di Boven Digul,
Drama dari Merapi, Drama dari Krakatau karya Kwee Tek Hoay dan lain-lain, Saat
ini, wacana popular muncul lagi dalam dunia sastra kita. Dikatakan popular
karena dianggap banyak disukai oleh masyarakat umum, sesuai dengan tren, atau
sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan menguntungkan.
Keadaan
tersebut membuat karya popular dijustifikasi sebagai karya yang bermutu rendah,
yang hanya akan bergerak pada kepuasan-kepuasan sesaat. Padahal, jika kita
menganalogikan keadaan boomingnya sastra popular semisal Ayat-Ayat Cinta karya
Habiburrahman El-Shirazy, Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, dan lain
sebagainya pada kondisi sastra Melayu Tionghoa yang juga bersifat popular, kita
mungkin akan dapat menentukan sikap, di mana seharusnya kita berdiri dalam
menilai karya-karya popular.
Dalam
Culture and Environment yang ditulis oleh Leavis dan Thompson pada 1933,
mereka menyalahkan fiksi popular karena menawarkan bentuk-bentuk berupa
‘kompensasi’ dan ‘distraksi’. Dikatakan kompensassi karena ia cenderung
menambahkan ketidakmampuan seseorang pada penolakan untuk menghadapi realitas.
Selain itu, Leavis dalam Fiction and the Reading Public menunjuk bahwa bagi
pembaca fiksi romantis, kebiasaan membaca fiksi jenis itu akan melahirkan
kebiasaan berfantasi dan akan menyebabkan ketidakmampuan berhadapan dengan
kebutuhan lingkungan sosial. Menurut mereka, self-abuse itu cukup buruk, namun
masih ada yang jauh lebih buruk, yakni kecanduan terhadap bacaan fiksi
romantis.
Perkembangan
industrialisasi berperan besar dalam memberikan ruang bagi tumbuhnya `sastra
massa’ atau `sastra populer’, yaitu bentuk-bentuk sastra yang mempunyai akar
pada kebutuhan, cara berpikir, pengetahuan, problematika dan selera orang-orang
kebanyakan. Sastra macam ini menjadi bagian dari `industri budaya’ (culture
industry), yang diproduksi untuk massa yang luas melalui pola-pola
industrial. Ada semacam proses `kapitalisasi’, di mana sastra—dengan sengaja
atau tak disengaja—menjadi tempat untuk mendapatkan keuntungan ekonomi, di
dalam sebuah `komodifikasi budaya’ (commodification of culture).
Lain
halnya dengan sastra popular islami, yang berawal dari majalah Annida dan
mengusung dakwah Islam. Sejak tahun 1999 setelah penulis cerpen Annida bergelut
di FLP, mereka melihat adanya kesamaan visi antara media dan juga
penuslisnya.Tema Tuhan dan religiusitas Islami bukan hal baru dalam ranah
sastra tanah air. Sejak lama tema tersebut telah jadi bagian dalam perkembangan
sastra di Indonesia. Meski tak secara eksplisit menasbihkan diri sebagai sastra
Islami, namun tak dapat dipungkiri sastra pencerahan yang diusung Danarto,
sastra profetik oleh Kuntowijoyo, sastra sufistik oleh Abdul Hadi WM serta
sastra transenden oleh Sutardji Calzoum Bachri merupakan sari pati dari sastra
Islami. Pada tahun 1970-an, Abdul Hadi WM, Danarto, Fudoli Zaini, Ikranegara,
Sutardji Calzoum Bachri, Taufiq Ismail, dan beberapa sastrawan lainnya pernah
pula menggulirkan konsepsi sastra Islam secara lebih luas.
Jika
para sastrawan terdahulu lebih memilih menyajikan nilai-nilai Islam secara
implisit, tidak untuk generasi setelah reformasi. Mereka tampak lebih "berani"
menyajikan Islam dalam tulisan, bahkan tak segan mengutip ayat Al-quran. Pada
dasarnya, sastra popular Islami mampu menangkap kegelisahan zaman. Jika sastra
berbicara mengenai representasi yang melihat segmentasi pembaca dan pembaca pun
merasa terepresentasikan melalui karya, saya rasa tidak salah, sastra popular
Islami menjadi sangat booming. Dalam keberadaan Indonesia yang mayoritas
muslim, hal ini tentu tidak menjadi soal. Buktinya, Ayat-Ayat Cinta menjadi
salah satu novel dengan penjualan terbanyak selain Laskar Pelangi, dan juga
telah berkali-kali cetak ulang. Bahkan, banyak karya lain yang ikut meniru
Ayat-Ayat Cinta atau Laskar Pelangi, mulai dari cerita hingga cover bukunya.
Lain
dari pada itu, jika kita berbicara mengenai karya sastra, pada dasarnya setiap
karya sastra mengandung ideologi yang ditawarkan kepada khalayak pembacanya.
Booming Ayat-Ayat Cinta bisa saja mejadi sebuah penyebaran ideologi baru, bahwa
dalam karya kita tidak harus malu-malu menyampaikan dakwah melalui karya
semisal sastra. Segmentasinya yang lebih memilih “popular” dibandingkan dengan
“serius” juga bisa menjadi salah satu bukti bahwa inilah satu-satunya cara agar
dapat diterima oleh masyarakat luas, dan sangat mungkin juga berkaitan dengan prinsip-prinsip
industrialisasi.
B. Sejarah Sastra Populer
Menurut Nenden
Lilis sastra populer muncul dan menempati kurun waktu tertentu yang disetiap
kurun waktu itu menunjukkan ciri-ciri yang khas. Dari kekhasan setiap kurun
waktu itu dapat dideskripsikan periodisasi sastra populer, yaitu, periode zaman
kolonial, periode 1950-1968-an, periode 1970-1990-an, dan periode era
reformasi.
Sastra
populer mulai dikenal pada masa pemerintahan Hindia-Belanda di abad 19. Pada
zaman itu sastra jenis itu bertemakan cerita-cerita tentang kehidupan para
nyai, cerita-cerita gaib, dan cerita percintaan yang tidak jarang dimbumbui
seks. Jenis bacaan tersebut ditulis baik oleh orang Cina-Melayu maupun pribumi.
Bahasa yang digunakan pada sastra jenis tersebut adalah bahasa Melayu-pasaran
(rendahan). Karya pertama yang mengawali bangkitnya sastra populer di masa ini
salah satunya berjudul Sobat Anak Anak karya Liem Kim Hok. Bacaan ini dianggap
hanya menampilkan cerita yang ringan dengan maksud menghibur.
Tidak
jarang pula para pengarang jenis ini menyelipkan ideologi tertentu. Contohnya
pada fiksi yang ditulis R.M. Tirti Adhi Soerdjo yang memiliki kandungan paham
komunis. Pada 1930-an, gejala karya sastra populer semakin menghangat dengan
adanya terbitan “roman medan” yang kemudian dianggap sebagai roman picisan.
Bacaan tersebut dikatakan murahan karena dalam isinya tidak mengandung
kontemplasi yang serius, stereotip, dan dalam beberapa hal relatif
mengeksploitasi seks. Pada zaman pendudukan Jepang (1942-1949) karya sastra
populer mulai surut karena kondisi yang sedang penuh dengan pergolakan politik
dan sosial. Baru pada masa kemerdekaan (1950-1968), muncul novel-novel dan
cerpen-cerpen dengan cerita yang didominasi oleh tema percintaan yang dibumbui
sensualitas, detektif, dan kobi.
Pada
tahun 1970-an, bermunculan bacaan-bacaan yang dianggap populer seperti karya
Abdullah Harahap (yang terkenal, misalnya Musim Cinta Telah Berlalu), Eddy D.
Iskandar (Cowok Komersil, Gita Cinta dari SMA, Sok Nyentrik, Cewek Komersil),
Teguh Esha (Ali Topan Anak Jalan), La Rose (Ditelan Kenyataan), Ike Soepomo
(Kabut Sutra Ungu, Kembang Padang Kelabu), Marga T. (Karmila), Ashadi Siregar
(Cintaku di Kampus Biru, Kugapai Cintamu, Frustasi Puncak Gunung). Yudhistira
(Arjuna Mencari Cinta), dan sebagainya. Tahun tahun ini sastra populer
mengalami pergeseran dari ciri sebelumnya. Sastra populer pada masa ini banyak
ditulis kaum perempuan. Cerita-cerita yang mendominasi masa ini adalah masalah
rumah tangga.
Pada
tahun 1980-an, muncul karya Hilman berjudul Lupus yang populer di masyarakat.
Selain itu pada dekade ini dikenal para penulis sastra populer semacam Gola
Gong atau Zarra Zetira. Pada tahun 1990-an, fiksi populer relatif cukup
tenggelam karena mengalami persaingan yang cukup signifikan terhadap
perkembangan televisi swasta. Pada dekade ini masyarakat lebih menggunakan
waktu luangnya dengan menonton tayangan layar kaca seperti sinetron.
Pada
tahun 2000-an, sastra populer kembali berkembang dan beberapa karya sastra
populer yang fenomonal kembali menduduki penjualan terbaik. Berbagai predikat
dimunculkan dari penerbit untuk memperkuat segmen pembaca. Sebutlah istilah
chick lit yang ditujukan untuk penggemar fiksi bertemakan percintaan perempuan
dewasa, teen lit untuk kalangan pembaca remaja, atau fiksi islami khusus untuk
pembaca muslim dengan tema dan nuansa religius yang tinggi. Beberapa karya dan
penulis itu adalah Andrea Hirata dengan tetraloginya (Laskar Pelangi, Sang
Pemimpi, Edensol, dan Maryamah Karpov), Habbiburahman el Shirezy (Ayat-Ayat
Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, Di Atas Sajadah Cinta, dll), atau penulis remaja
Rahmania (Eiffel Im In Love, Lost In Love, dll), serta Andre Laksana (Lelaki Terindah,
Abadilah Cinta, dan lain-lain).
Pasca
orde Baru, yang sering disebut era reformasi, berkembang pesat karya-karya
sastra popular dengan motif-motif keagamaan atau yang diistilahkan Moh. Irfan
Hidayatullah sebagai Ispolit-Islam Popular Literature (jenis ini telah dirintis
sejak sebelum reformasi). Berkembang pula novel dan cerpen-cerpen remaja yang
menceritakan perempuan kosmopolitan dengan keseharian kehidupan perkotaan dalam
karya-karya chicklit dan teenlit. Jenis-jenis cerita yang ada pada era
sebelumnya memang masih berkembang sekali pun tidak mendominasi. Namun, pada
periode ini sastra populer tidak banyak diwarnai tema-tema kekerasan
(kriminalitas). Hal itu terjadi barangkali karena tayangan-tayangan berita
kriminal di televisi telah cukup "memuaskan" masyarakat.
C. Hubungan Sastra Populer dengan Masyarakat
Sastra dalam masyarakat mengacu pada kedudukan
produksi-konsumsi sastra dalam masyarakat. Perspektif tersebut menyarankan
pentingnya meneliti produksi-konsumsi sastra dalam suatu masyarakat. Apakah
karya sastra memiliki posisi penting atau tidak dalam sistem ekonomi
masyarakatnya, menduduki posisi elite atau populer, memerankan posisi kunci
dalam komunikasi budaya, semua itu merupakan persoalan sastra dalam suatu
masyarakat.
Sastra dan masyarakat mengacu pada hubungan antara sastra dengan
masyarakatnya. Perspektif tersebut menyarankan pentingnya meneliti hubungan
reflektif antara sastra dengan masyarakat. Apakah karya sastra mencerminkan
atau tidak kondisi masyarakatnya, merupakan cermin realitas suatu masyarakat
atau merupakan dunia impian yang didambakan oleh masyarakat. Dengan demikian,
perspektif ini menekankan pentingnya aspek mimetik sastra dan masyarakat.
Perbedaan konsep formula dengan genre pada dasarnya merupakan perbedaan
antara jenis karya sastra dengan komponen pembentuknya. Genre
merupakan bentuk yang tersusun dari berbagai komponen. Komponen itu sendiri tersusun
dari berbagai unsur yang sesuai dengan fungsinya dalam membentuk keseluruhan.
Dengan demikian, genre memiliki pengertian jenis karya sastra yang memiliki
formula sebagai komponen pembentuknya.
Dengan kata lain, formula adalah komponen struktural yang membentuk genre karya
sastra.
Sastra populer sebagai sarana pemenuhan kebutuhan escape terletak pada faktor genre sastra tersebut yang memberikan
impian yang berbeda dari kenyataan yang dialami oleh masyarakat pembacanya.
Sastra populer sebagai sarana pemenuhan kebutuhan relaxation terletak
pada faktor genre sastra tersebut yang difungsikan sebagai sarana hiburan oleh
masyarakat pembacanya. Sarana escape sastra populer merupakan faktor
penting yang membedakannya dengan sastra elite yang terikat secara lekat pada
realitas kehidupan sehari-hari.
Fungsi escape ini memberikan harapan kehidupan yang berbeda dan
dianggap lebih baik oleh pembacanya. Fungsi relaxation memberikan terapi
yang melonggarkan ketegangan hidup yang dialami oleh pembacanya akibat tekanan-tekanan
kehidupan sosial sehari-hari yang dialami oleh pembaca tersebut. Kedua fungsi
tersebut menentukan efektivitas sastra populer bagi pembacanya. Faktor
keindahan sastra populer terletak pada formulanya yang secara struktural tetap
namun memiliki isi yang bervariasi.
Kekuatan teori simbolik sebagai salah satu kekuatan utama untuk menjelaskan
fungsi kultural sastra pop adalah kemampuannya untuk menganalisis nilai-nilai
kultural sastra populer. Kelemahan teori simbolik terletak pada
ketidakmampuannya dalam menjabarkan selera masyarakat pembaca sastra populer.
Kekuatan teori reflektif sebagai salah satu kekuatan utama untuk menjelaskan
fungsi kultural sastra populer adalah kemampuannya untuk menganalisis hubungan
reflektif antara sastra populer dengan sistem sosial budaya masyarakatnya.
Kelemahan teori reflektif terletak pada ketidakmampuannya dalam menjabarkan
sistem produksi-konsumsinya.
Proses dialektis antara sastra formula dengan kultur yang memproduksi dan
mengkonsumsinya adalah bahwa formula sastra populer dalam sistem produksi
ibarat resep masakan dalam sebuah restoran. Artinya, formula menentukan genre
sastra populer sebagai menu yang diproduksi dan disediakan oleh produsen. Dari
segi konsumsi, eksistensi sebuah genre sastra populer ditopang oleh sesuai atau
tidaknya formula tersebut dengan selera masyarakat pembacanya. Dengan demikian
proses dialektis tersebut menunjukkan adanya hubungan kesalingtergantungan
antara formula sastra populer dengan sistem produksi konsumsinya. Seperti
halnya kesalingtergantungan antara sebuah resep masakan dengan selera kuliner
masyarakat.
Partisipasi antara pembaca dengan sastra populer yang dibacanya membentuk
hubungan yang diistilahkan oleh Bob Ashley sebagai total culture. Artinya, baik modal budaya yang dimiliki oleh pembaca
maupun modal budaya yang terdapat dalam sastra populer berperan dalam
pembentukan produksi dan konsumsi makna secara kultural. Misalnya budaya roman
berpartisipasi dalam pembentukan makna kultural roman bersama-sama dengan
kultur roman pembacanya. Begitu pula, budaya cerita silat berpartisipasi dalam
pembentukan makna kultural persilatan bersama-sama dengan kultur persilatan
masyarakat pembacanya. Totalitas kultural itulah yang menentukan eksis atau
tidaknya sastra populer dalam masyarakat
D. Perbandingan Sastra Lama dengan
Sastra Popular
Pada
perkembangannya, sastra Indonesia terbagi menjadi beberapa periode. Secara
umum, sastra Indonesia dapat dikelompokkan menjadi sastra Indonesia lama dan
populer. Sastra Indonesia lama atau klasik adalah karya sastra yang berkembang
sebelum ada pengaruh dari kebudayaan luar, khususnya kebudayaan Barat. Sastra
lama diperkirakan lahir pada tahun 1500 sampai abad XIX. Adapun sastra
Indonesia baru atau popular adalah karya sastra yang berkembang setelah adanya
pengaruh kebudayaan Barat pada awal abad XX.
Beberapa
kritikus sastra telah mengemukakan pendapatnya mengenai periodisasi sastra Indonesia ini,
yakni sebagai berikut:
1. Zuber Usman berpendapat bahwa periodisasi sastra
terbagi atas:
a.
Kesusastraan lama
b.
Zaman peralihan
c.
Kesusastraan baru
1)
Zaman Balai Pustaka (1908)
2)
Zaman Pujangga Baru (1933)
3)
Zaman Jepang (1942)
4)
Zaman Angkatan ’45 (1945)
2. H.B. Jassin berpendapat bahwa periodisasi sastra
dibagi menjadi:
a.
Sastra Melayu
b.
Sastra Indonesia Modern
1)
Angkatan ’20
2)
Angkatan ’33
3)
Angkatan ’45
4)
Angkatan ’66
5)
Angkatan ’80
Dua
pendapat tersebut, dapatlah diketahui bahwa karya-karya sebelum Angkatan ’20-an
atau Balai Pustaka termasuk sastra Indonesia lama. Karya sastra lama, di
antaranya hikayat, mite, fabel, legenda, pantun, syair, gurindam, dan mantera.
Adapun karya-karya yang dimulai pada masa Balai Pustaka hingga perkembangannya
sampai sekarang termasuk sastra Indonesia barn atau modern. Karya sastra
Indonesia barn atau modem terbagi atas tiga jenis, yakni prosa (contoh: roman,
novel, dan cerpen), puisi, dan drama.
Karya sastra terbagi ke dalam karya
sastra lama dan populer, baik dalam genre (jenis) puisi maupun prosa. Ciri
karya sastra lama secara umum adalah bahasa yang dipergunakannya dan identitas
penulisnya. Bahasa yang digunakan dalam karya sastra lama umumnya adalah Bahasa
Melayu lama. Pebandingan Karya Sastra Lama Klasik dan Popul
Sastra Lama
a. Puisi berbentuk terikat dan kaku
b. Prosa lama
statis (sesuai dengan keadaan masyarakat lama yang mengalami perubahan lambat)
c. Istana sentris (cerita berkisah
tentang kerajaan atau keluarga raja)
d. Prosa hampir
seluruhnya berbentuk hikayat atau dongeng. Pembaca dibawa ke alam khayal.
e. Dipengaruhi oleh kesusastraan Hindu
dan Arab
f. Pengarangtiya tidak diketahui
(anonim)
Sastra Populer
a. Puisi bersifat bebas, baik bentuk
maupun isinya
b. Prosa baru dinamis (selalu berubah
dengan perkembangan masyarakat)
c. Masyarakat sentris (mengambil bahan
dan kehidupan sehari-hari)
d. Karya sastra (puisi, novel, cerpen,
drama) berdasarkan dunia nyata.
e. Dipengaruhi oleh kesusastraan Barat
f. Pengarangnya
diketahui dengan jelas dan identitas
penulis atau pengarangnya tidak diketahui (anonim). Secara khusus, puisi maupun
prosa mempunyai ciri-ciri tersendiri.
E. Contoh Karya Sastra Populer
dalam Novel Laskar Pelangi
Diangkat
dari kisah nyata yang dialami oleh penulisnya sendiri, buku “Laskar Pelangi”
menceritakan kisah masa kecil anak-anak kampung dari suatu komunitas Melayu
yang sangat miskin Belitung. Anak orang-orang ‘kecil’ yang mencoba memperbaiki
masa depan mereka.
SD
Muhammadiyah (sekolah penulis ini), tampak begitu rapuh dan menyedihkan
dibandingkan dengan sekolah-sekolah PN Timah (Perusahaan Negara Timah). Mereka
tersudut dalam ironi yang sangat besar karena kemiskinannya justru berada di
tengah-tengah gemah ripah kekayaan PN Timah yang mengeksploitasi tanah ulayat
mereka.
Kesulitan
terus menerus membayangi sekolah kampung itu. Sekolah yang dibangun atas jiwa
ikhlas dan kepeloporan dua orang guru, seorang kepala sekolah yang sudah tua,
Bapak Harfan Efendy Noor dan ibu guru muda, Ibu Muslimah Hafsari, yang juga
sangat miskin, berusaha mempertahankan semangat besar pendidikan dengan
terseok-seok. Sekolah yang nyaris dibubarkan oleh pengawas sekolah Depdikbud
Sumsel karena kekurangan murid itu, terselamatkan berkat seorang anak idiot
yang sepanjang masa bersekolah tak pernah mendapatkan rapor.
Sekolah
yang dihidupi lewat uluran tangan para donatur di komunitas marjinal itu begitu
miskin: gedung sekolah bobrok, ruang kelas beralas tanah, beratap
bolong-bolong, berbangku seadanya, jika malam dipakai untuk menyimpan ternak,
bahkan kapur tulis sekalipun terasa mahal bagi sekolah yang hanya mampu
menggaji guru dan kepala sekolahnya dengan sekian kilo beras, sehingga para
guru itu terpaksa menafkahi keluarganya dengan cara lain. Sang kepala sekolah
mencangkul sebidang kebun dan sang ibu guru menerima jahitan.
Kendati
demikian, keajaiban seakan terjadi setiap hari di sekolah yang dari jauh tampak
seperti bangunan yang akan roboh. Semuanya terjadi karena sejak hari pertama
kelas satu sang kepala sekolah dan sang ibu guru muda yang hanya berijazah SKP
(Sekolah Kepandaian Putri) telah berhasil mengambil hati sebelas anak-anak
kecil miskin itu.
Dari
waktu ke waktu mereka berdua bahu membahu membesarkan hati kesebelas anak-anak
tadi agar percaya diri, berani berkompetisi, agar menghargai dan menempatkan
pendidikan sebagai hal yang sangat penting dalam hidup ini. Mereka mengajari
kesebelas muridnya agar tegar, tekun, tak mudah menyerah, dan gagah berani
menghadapi kesulitan sebesar apapun. Kedua guru itu juga merupakan guru yang
ulung sehingga menghasilkan seorang murid yang sangat pintar dan mereka mampu
mengasah bakat beberapa murid lainnya. Pak Harfan dan Bu Mus juga mengajarkan
cinta sesama dan mereka amat menyayangi kesebelas muridnya. Kedua guru miskin
itu memberi julukan kesebelas murid itu sebagai para Laskar Pelangi.
Keajaiban
terjadi ketika sekolah Muhamaddiyah, dipimpin oleh salah satu laskar pelangi mampu
menjuarai karnaval mengalahkan sekolah PN dan keajaiban mencapai puncaknya
ketika tiga orang anak anggota laskar pelangi (Ikal, Lintang, dan Sahara)
berhasil menjuarai lomba cerdas tangkas mengalahkan sekolah-sekolah PN dan
sekolah-sekolah negeri. Suatu prestasi yang puluhan tahun selalu digondol
sekolah-sekolah PN.
Tak
ayal, kejadian yang paling menyedihkan melanda sekolah Muhamaddiyah ketika
Lintang, siswa paling jenius anggota laskar pelangi itu harus
berhenti sekolah padahal cuma tinggal satu triwulan menyelesaikan SMP. Ia harus
berhenti karena ia anak laki-laki tertua yang harus menghidupi keluarga, sebab
ketika itu ayahnya meninggal dunia.
Belitong
kembali dilanda ironi yang besar karena seorang anak jenius harus keluar
sekolah karena alasan biaya dan nafkah keluarga justru disekelilingnya PN Timah
menjadi semakin kaya raya dengan mengekploitasi tanah leluhurnya. Meskipun awal
tahun 90-an sekolah Muhamaddiyah itu akhirnya ditutup karena sama sekali sudah
tidak bisa membiayai diri sendiri, tapi semangat, integritas, keluruhan budi,
dan ketekunan yang diajarkan Pak Harfan dan Bu Muslimah tetap hidup dalam hati
para laskar pelangi.
Akhirnya
kedua guru itu bisa berbangga karena diantara sebelas orang anggota laskar
pelangi sekarang ada yang menjadi wakil rakyat, ada yang menjadi research and
development manager di salah satu perusahaan multi nasional paling penting di
negeri ini, ada yang mendapatkan bea siswa international kemudian melakukan
research di University de Paris, Sorbonne dan lulus S2 dengan predikat with
distinction dari sebuah universitas terkemuka di Inggris. Semua itu, buah dari
pendidikan akhlak dan kecintaan intelektual yang ditanamkan oleh Bu Mus dan Pak
Harfan. Kedua orang hebat yang mungkin bahkan belum pernah keluar dari pulau mereka
sendiri di ujung paling Selatan Sumatera sana.
Banyak
hal-hal inspiratif yang dimunculkan buku ini. Buku ini memberikan contoh dan
membesarkan hati. Buku ini memperlihatkan bahwa di tangan seorang guru,
kemiskinan dapat diubah menjadi kekuatan, keterbatasan bukanlah kendala untuk
maju, dan pendidikan bermutu memiliki definisi dan dimensi yang sangat luas.
Paling tidak laskar pelangi dan sekolah miskin Muhamaddiyah menunjukkan bahwa
pendidikan yang hebat sama sekali tak berhubungan dengan fasilitas. Terakhir
cerita laskar pelangi memberitahu kita bahwa bahwa guru benar-benar seorang
pahlawan tanpa tanda jasa
4. KESIMPULAN
Sastra populer merupakan suatu sastra dimana karya
sastranya telah terpengaruh dengan kebudayaan lain seperti kebudayaan barat. Sastra
populer ini karya-karyanya lebih mengacu pada perkembangan yang terjadi di
masyarakat. Karya-karya sastra popular ini juga dibuat berdasarkan kisah nyata
atau pengalaman dari penulisnya itu sendiri.
5. SARAN
Penulis
menyadari bahwa makalah ini belum sempurna, penulis mengharapkan kepada pembaca
kritik dan saran yang membangun terhadap makalah ini agar makalah ini bisa
disempurnakan dan bermanfaat bagi para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar