Tugas
Kelompok Dosen Pembimbing
Kritik Sastra Drs. Elmustian Rahman.M.A
“ESTETIKA
MELAYU”

oleh:
DEDI SAPUTRA (1005112507)
DIANA SAFITRI (1005121225)
FREDY HANDOKO (1005112720)
RESTY ANINDITA FITRIANI (1005112730)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN
BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2012
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Estetika kebudayaan
sebuah negara merupakan kesatuan masyarakat dalam bidang bahasa, agama,
ekonomi, kesenian, pelajaran yang berkaitan dengan kelakuan dan kegiatan
manusia. Secara keseluruhan, kebudayaan adalah penyatuan jumlah corak-corak
perlakuan manusia. Dalam bidang kesenian, suatu masyarakat memiliki corak-corak
kesenian yang khusus dan unik.
Kebudayaan dalam masyarakat melayu mempunyai berbagai macam
kebudayaan baik yang tradisional maupun yang modern, yang melambangkan
kebudayaan melayu. Dalam makalah ini penulis membahas tentang estetika melayu,
yang tentunya kebudayaan-kebudayaan yang terdapat dalam masyarakat melayu itu
sendiri, yang di dalam budaya-budaya masyarakat melayu banyak terdapat
nilai-nilai estetika yang sangat menarik.
1.2 Rumusan Masalah
Agar makalah
ini bisa tersusun rapi maka penulis membuat perumusan masalah agar tidak menyimpang dari tujuan, yaitu :
1.3 Tujuan Pembuatan Makalah
Sejalan dengan
rumusan masalah, penelitian ini bertujuan diantaranya sebagai berikut :
1.4 Manfaat Penulisan
Makalah
Setelah makalah ini berhasil diselesaikan, kiranya dapat memberikan kontribusi bagi
berbagi pihak, diantaranya sebagi berikut:
·
Manfaat Teoritis
Secara teoritis
makalah ini akan memberikan kontribusi terhadap disiplin ilmu sastra
mengenai kebudayaan. Yang masing-masing memiliki
keterkaitan dengan kadar berbeda-beda.
·
Manfaat Parktis
Secara praktis penelitian
ini memilki manfaat sebagai berikut :
a)
Bagi mahasiswa,
diharapkan dapat memberikan wawasan baru berkenaan dengan kebudayaan
melayu dan estetika melayu.
b)
Membantu dalam
meningkatkan pengetahuan masyarakat.
·
Manfaat
Edukatif
Sebagai bahan pembelajaran baik di lingkungan formal
maupun di lingkungan nonformal. Khususnya di perguruan tinggi.
BAB II
ESTETIKA MELAYU
2.1
Pengertian Estetika Melayu
Menurut Dharsono (2007:3) estetika berasal
dari bahasa Yunani “aisthetika” berarti hal-hal yang dapat diserap oleh
pancaindera. Oleh karena itu estetika sering diartikan sebagai persepsi indera
( sense of perception). Estetika
adalah salah satu cabang filsafat. Secara sederhana, estetika adalah ilmu yang membahas
keindahan,
bagaimana ia bisa terbentuk, dan bagaimana seseorang bisa merasakannya.
Pembahasan lebih lanjut mengenai estetika adalah sebuah filosofi yang
mempelajari nilai-nilai sensoris, yang kadang dianggap sebagai penilaian
terhadap sentimen dan rasa. Estetika merupakan cabang yang sangat dekat dengan
filosofi seni.
Menurut Dharsono, (2007: 3 ) estetika diartikan sebagai suatu cabang filsafat
yang memperhatikan atau berhubungan dengan gejala yang indah pada alam dan
seni.
Sedangkan menurut kamus besar bahasa
Indonesia estetika adalah cabang filsafat yang menelaah dan membahas tentang
seni dan keindahan serta tanggapan manusia. Sedangkan melayu adalah suatu suku
bangsa di Sumatra, semenanjung Malaysia, dan di pelbagai daerah Asia Tenggara.
Jadi kesimpulannya estetika melayu adalah suatu ilmu yang menelaah dan membahas
tentang seni-seni dan keindahan yang bercorak melayu.
Estetika melayu berarti segala
keindahan yang ada di dalam melayu menjawab tuntutan dan tantangan telaah
terhadap karya sastra Melayu sastra Melayu berfungsi sebagai penawar dan
penghibur, sekaligus dapat memahami dan menelusuri aspek nilai-nilai
keindahannya sebagai ikhtiar kepada pembaca. Dalam implementasinya menunjukkan
bahwa konsep estetika sangat penting dalam pemikiran sastra Melayu, sebuah
karya sastra yang berestetika Melayu datangnya dari pengalaman yang
berorientasi suatu ajaran dan menggunakan teks yang kuat serta kukuh dalam
penceritaan. Semuanya, memperlihatkan bahwa setiap peristiwa dalam karya sastra
sebagai ucapan bermakna dan menekankan bahwa aspek keindahannya
lahir dari
warisan tetua-tetua dahulu. Estetika melayu meliputi, yang terdapat di dalam
masyarakat melayu, seperti salah satunya adalah puisi, syair, dan lain
sebagainya.
2.2 Fungsi Estetika Melayu
Estetika atau nilai-nilai keindahan dalam sastra Melayu berfungsi
menunjukkan sebagai tegangan untuk mempertahankan nilai yang lama sebagai inspirasi, motivasi, dan menjadi cermin kekuatan
karya sastra Melayu tradisi Melayu
dalam mengungkap dan menggambarkan zamannya.
Sekaligus, perwujudan estetika atau nilai-nilai keindahan yang dibangun menguak kesadaran berbilang
bangsa atas keberadaan masyarakat
dan bangsa di alam Melayu. Kesadaran yang demikian merupakan pemahaman bahwa sebuah eksistensi tidak dapat terwujud
baik tanpa keberadaan orang,
masyarakat ataupun bangsa lain. Suatu masyarakat
atau bangsa itu tahu bahwa ia tidak akan menjadi apa-apa kecuali bangsa lain mengenalnya sebagai suatu identitas tertentu. Keberlangsungan perwujudan keberadaan,
kedirian, dan identitas adalah perekat
bagi suatu masyarakat dengan bangsa dan bangsa dengan bangsa lain.
2.3 Contoh Estetika Melayu
Salah satu
contohnya adalah estetika melayu dalam puisi magis. Bangsa
Melayu mempunyai tradisi gaya dan cara perubatan yang unik. Orang Melayu
mempunyai kemahiran dan kepakaran menggunakan ramuan herba sebagai bahan
perubatan. Mereka telah lama mempunyai asas sains dalam mengenal pokok atau
buah-buahan yang mempunyai racun dan cara menawarkannya. Misalnya, jering boleh
dimakan mentah sebagai ulam. Tetapi kalau direbus tidak begitu masak akan
menjadi racun. Ubi gadung juga beracun. Kalau direbus dan dimakan begitu saja
akan membawa padah. Tetapi orang Melayu telah lama mengetahui cara memakan ubi
gadung yang sedap itu. Mereka merendamkannya dalam sungai atau alur air tiga
empat hari. Semua racun itu akan keluar. Selepas itu selamat dimakan.
Lingkungan hidup orang Melayu secara tradisinya dipenuhi
pokok yang bukan saja boleh dimakan, tetapi juga untuk perubatan. Sekarang,
lingkungan itu telah menghasilkan perusahaan besar mengenai penjagaan
kesihatan. Pokok seperti teja lawang, tongkat ali, kacip fatimah, rempah
gunung, akar seribu, hempedu bumi, sirih, kerdas, ulam raja, mengkudu, batang
wali atau seruntun, petai, misai kucing, selasih, buah dan pokok petai
belalang, halia, kunyit, pegaga,
kesom, dan banyak lagi,
menjadi bahan untuk kesihatan atau perubatan orang Melayu.
Alam semula jadi yang merupakan lingkungan estetika orang
Melayu, penuh dengan dunia hidup sihat dan menjadi bahan perubatan, selain
daripada bahan sastera dalam tradisi lisan. Selain daripada kemahiran dan
kepakaran dalam ramuan herba dari alam semula jadi seperti yang disebutkan,
orang Melayu juga mempunyai gaya dan cara perubatan secara batin, secara
spiritual. Cara batin ini disebut sebagai jampi, mantera atau serapah. Oleh
sebab dalam analisis ini hanya untuk menjelaskan khazanah sastera, maka semua
jenis perubatan secara 2 batin ini disebut sebagai puisi magis. Dan dibincangkan hanya
mengenai keindahan puisi magis yang bersifat alamiah dengan maksud untuk
menjelaskan estetika Melayu. Perlu disebutkan bahawa puisi magis termasuk dalam
budaya rakyat atau folklore, di bawah tradisi adat. Tradisi adat ini
mencakupi soal kepercayaan seperti sihir, nujum, mimpi, alamat atau ketika,
jampi atau mantera atau serapah. Walaupun ada puisi rakyat dan nyanyian rakyat,
tetapi kedudukan puisi magis agak tersendiri. Puisi magis berhubung kait dengan
gaya dan cara perubatan tradisi orang Melayu kerana ia berhubung dengan peranan
bomoh atau pawang atau dukun atau bidan. Peranan mereka sangat besar dan
terkenal dalam masyarakat Melayu
sehingga kini. Walaupun puisi magis dianggap cara perubatan secara kekuatan
kuasa ghaib atau bergantung kepada “orang halus” atau “orang dendam”, tetapi
kata-kata atau bait-bait yang dianggap magis itu masih terikat kepada sifat
alamiah. Kebanyakan puisi magis dimulakan dengan Bismillah, dan disudahi dengan
satu frasa atau dua frasa dikaitkan dengan ucapan dua kalimah syahadat, untuk
membuktikan ada kaitannya dengan kudrat dan iradat Allah, dan mengakui
kerasulan Nabi Muhammad s.a.w. Misalnya dalam “jampi menangkap ikan” dirakamkan
seperti berikut:
Limau purut daun mengkudu
lemang kering di pangkalan
Judah
seluruh laut ini aku punya
lautan ini aku punya.
Assalamu’alaikum Nabi
Sulaiman
aku minta kau kumpulkan
anak buah kau
mana yang patah bertongkat
mana yang singkung
berpimpin
aku minta makan umpan
kailku
kalau tidak makan
derhaka kau kepada Allah
dengan berkat kata.
Frasa terakhir “dengan berkat kata” itu diikuti dengan
ucapan dua kalimah syahadat. Perhatikan bagaimana pusi magis ini tersusun
dariapda unsur alamiah dengan nama pokok atau makanan. Limau purut dan daun
mengkudu itu nama dua jenis pokok yang diambil buah dan daunnya untuk ramuan
herba. Lemang pula sejenis makanan, sama ada yang masih lembut atau yang sudah
kering, dan menjadi kegemaran orang Melayu, terutama hari perayaan. Pangkalan Judah
itu nama tempat, dan dimasukkan pula nama laut dan lautan. Kemudian dikaitkan
dengan nama Nabi Sulaiman s.a.w. yang menguasai segala jenis binatang dan jin.
Unsur alamiah atau wujudnya estetika Melayu itu sangat
ketara. Seluruh puisi magis ini merupakan adunan antara pokok, makanan, ruang
tempat mencari makan yaitu laut dan lautan. Pangkalan Judah pula diwujudkan
sebagai lambang kepada sesuatu lokasi persinggahan atau pangkalan para nelayan
waktu turun ke laut atau naik ke daratan. Para nelayan berhimpun di Pangkalan
Judah untuk menguruskan segala hasil tangkapannya. Pada permulaan puisi magis
ini seakan-akan sebuah pantun yang tidak lengkap. Yang ada hanya pembayang
maksud, kemudian terus kepada keadaan iaitu “seluruh laut aku punya” dan
“lautan ini aku punya”. Kemudian ucapan salam kepada Nabi Sulaiman s.a.w. untuk
mendekatkan ikan kepada umpan kail atau pancing. Susunan yang menarik dalam
puisi magis ini apabila wujudnya pengulangan seperti dalam cerita penglipur
lara, iaitu “mana yang patah bertongkat/mana yang singkung berpimpin” yang
membawa maksud supaya ikan berhimpun dan berebutan memakan umpan kailnya. Unsur
alamiah sebagai sebahagian daripada isi puisi magis sangat harmoni dan amat menarik.
Misalnya “jampi sakit perut” diucapkan seperti berikut:
Batang penak batang
meranti
ketika sangkar babi
datang senak ulu hati
aku bangkah tidak menjadi.
Aku menurunkan bisa
aku menaikkan tawar
tawar Allah
tawar Muhammad
tawar Baginda Rasulullah
dengan berkat kata... (ucapan dua kalimah syahadat)
Bait baris pertama jelas bentuk pantun, yaitu dua baris
pertama itu menjadi pembayang maksud, dan mengambil nama pokok penak dan pokok
meranti. Dua pokok ini lazimnya menjadi bahan untuk dibuat rumah. Frasa
“sangkar babi” melambangkan penyakit. Rima akhir dalam bentuk syair, iaitu
“a-a-a-a.” Dua baris kemudian jelas kepada maksud penyakit iaitu “senak ulu hati”
sebagai maksud dari pembayang “sangkar babi”, maka “aku bangkah tidak menjadi”.
Bangkah, maknanya mematikan atau dihalang dengan cara isyarat supaya penyakit
itu tidak berlanjutan. Baris berikutnya menghubungkan kuasa magis itu dengan
Allah dan Nabi Muhammad s.a.w. diikuti dengan mengucap dua kalimah syahadat. Ada
pula puisi magis yang memilih unsur bunyi bersama unsur alamiah yang lain.
Dalam “jampi demam” dan “jampi sakit kepala” dicipta seperti berikut:
Bedegup bedegap
menumbuk lesung salah nama
datang dia tidak beranak
datang penawar datang
jampi
si anu (nama pesakit)
kalau kau terkena di batu
di batang
serupa di sungai di hujan
panas
ribut di langit
aku minta pulih bagai
sedia kala
tawar Allah
tawar Muhammad
tawar berkat doa... (ucapan dua kalimah syahadat)
Frasa “bedegup bedegap” adalah bunyi yang diumpamakan
seperti “menumbuk (di) lesung” yang dikatakan “salah nama”. Kalau kesakitan
atau demam itu “terkena di batu” atau “di batang” pada mana-mana tempat yang
secara kebetulan adanya “ruap di sungai” atau waktu “hujan panas” atau ketika
turunnya “ribut di langit”, maka dengan nama Allah dan Muhammad s.a.w., semoga
demam itu sembuh atau tidak menjadi. Menurut kepercayaan tradisi orang Melayu
bahawa kadang-kadang demam itu terjadi kerana disampuk oleh “orang halus”
ketika
Seseorang itu, terutama kanak-kanak, bermain-main atau
melalui sesuatu kawasan dalam masa “terlarang”, misalnya “meniti batang” dan
waktu “hujan panas”. Puisi magis “jampi sakit kepala” juga dibina daripada
sifat alamiah yang amat kaya dengan keindahan estetikanya, seperti berikut:
Dummali dummal-ken-kum
puncak kepala
naik hutan naik rimba
sepuluh menaikkan bisa
seratus sembilan puluh
sembilan
menaikkan tawar
tawar Allah
tawar Baginda Rasullullah
dengan berkata kata... (ucapan dua kalimah syahadat)
Perhatikan unsur alamiah yang membawa keindahan pembawaan
estetika Melayu, iaitu mengambil contoh bunyi di “puncak kepala” dengan
“dummali dummal-ken-kum”, iaitu bunyi “dum dum dum” dan “ken kum” dalam kepala,
seolah-olah ada makhluk yang sedang bergerak yang “naik (ke) hutan dan (ke)
rimba” dalam seluruh “tempurung kepala” itu. Dan pergerakan “makhluk halus”
seperti itulah menyebabkan seseorang itu sakit kepala. Hubungan bahasa alam
“dum dum dum” dan “ken kum” yang meniru bunyi sesuatu yang jatuh atau meletup
“di puncak kepala”, kemudian barulah maksud puisi magis ini dipastikan, lalu memohon
rahmat Allah untuk menyembuhkannya. Pemilihan bunyi merupakan unsur puisi, termasuk
puisi moden. Peniruan bunyi ini dinamakan Onomatopeia.
Dalam puisi magis yang
dinamakan “Bisik Bismad” atau “Bisik Semad” bukan saja mengambil unsur alamiah
tetapi telah mengadunkannya dengan nama-nama dalam kepercayaan Hindu dan Islam.
Asalnya puisi magis ini untuk memulihkan semangat teruna atau dara yang terkena
hikmat orang atau sihir. Isi “Bisik Bismad” merupakan acara pelepasan daripada
tiga tokoh, iaitu Sang Kala (Betara Kala) dan Beroma Sakti (Sang Bima) dari
kepercayaan Hindu, dan Lokman al-Hakim dari Islam. Susunannya seperti berikut
(dimulakan dengan salam):
Hai Sang Kala raja di bumi
Beroma Kesakti raja di
langit
sebelum lagi sang awong
sebelum lagi sang awang
pintu ke kiri pintu ke
kanan
pintu yang empat menjadi
satu
dulu zat kemudian sifat
dulu kabut kemudian asap
dulu jin kemudian manusia
jatuh ke bumi sebesar buah
gomok
turunlah bigo ro-ro
pung, melengganglah pukat
cap kudi-kudi ayu-ayu
Sang Kala Sang Kani
apa gelap gelemat
hujan turun salah musim
angin turun salah ketika
memetik di dalam awan
terlintas di dalam laut
terbukalah pintu relung.
Assalamu’alaimum
hai Syekh Lokman Hakim
kau pelepaslah penyakit
yang ada
di dalam tubuh orang ini:
jika kau mari hari Jumaat
aku lepas pada hari Jumaat
jika engkau mari hari
Sabtu
aku lepas pada hari Sabtu
aku lepas pada hari Sabtu
jika engkau mari hari Ahad
aku lepas pada hari Ahad
jika engkau mari hari
Isnin
aku lepas pada hari Isnin
jika engkau mari hari
Selasa
aku lepas pada hari Selasa
jika engkau mari pada hari
Rabu
aku lepas pada hari Rabu
jika engkau mari pada hari
Khamis
aku lepas pada hari Khamis;
lepas daripada tubuh orang
ini
serta di kampung orang
ini.
Laut tidak bertepi
padang tidak berumput
pusat tasik pauh janggi
di sanalah tempat engkau
pergi makan minum.
Jika engkau mari tuntut
pada orang ini
aku sumpah engkau
dengan saffan saffa dakkan
dakka
dengan berkat kata... (ucapan kalimah syahadat)
Perhatikan unsur alamiah lingkungan hidup yang kaya
seperti bumi, langit, awan, pintu, asap, pukat, hujan, relung, nama hari, laut,
padang dan pusat tasik pauh janggi. Termasuk sejenis makanan iaitu buah “gomok”
diperbuat daripada pulut atau beras, kelapa dan gula. Perulangan kata-kata
“sebelum”, “pintu”, “dulu”, atau frasa “hujan turun salah musim”, “angin turun
salah ketika”, jika engkau mari”, “aku lepas pada”, “laut tidak bertepi, padang
tidak berumput” dan “saffan saffa dakkan dakka”, merupakan ciri keindahan puisi
magis ini. Susunan barisnya yang harmoni antara struktur dan isi, dan
perulangan dalam diksi atau frasa tertentu, kalau dituturkan atau disuarakan
dengan nada yang wajar, puisi magis seperti “Bisik Bismad” ini boleh
mendatangkan kuasa magis yang mengagumkan. Dari sudut struktur, puisi magis ini
sudah memperlihatkan ukurtara puisi moden yang memilih ucapan mantera, seperti
yang dapat kita lihat dalam beberapa puisi yang ditulis oleh penyajak tanah air
kita.
Dalam sebuah puisi magis untuk tujuan pengasih atau
penyeri wajah, memilih daun sirih sebagai bahan jampinya. Daun sirih atau buah
pinang merupakan sautu pembuka persahabatan kepada orang Melayu. Dalam sesuatu
peristiwa penting seperti dalam permainan, seri panggung memerlukan seri wajah
supaya menarik perhatian orang ramai. Daun sirih digunakan sebagai bahan
penyeri. Sebelum dimakan daun sirih itu dijampi, diucapkan seperti berikut:
Sirih aku serangkai kuning
pinang aku serangkai muda
duduk aku berbayang kuning
berdiri aku berdiri darah
di muka.
Bukan sirih yang manis
akulah yang manis.
Bukan sepiak yang manis
tubuhkulah yang manis
akulah yan manis.
Sekalian memandang aku
jatuh tersepuk depan
kakiku
berkat kata... (ucapan dua kalimah syahadat)
Selain daripada
menggunakan unsur alamiah daun sirih dan buah pinang, puisi magis “Penyeri
Wajah” ini menggunakan skima rima tertentu. Empat baris pertama mengandungi
skima rima “a-b-a-b” diikuti oleh tujuh baris dengan rima “c”, dua baris dengan
rima “d” dan dua baris lagi dengan rima “e”. Meneliti dari sudut ini saja pun
puisi magis ini sudah membuktikan keindahan dan nilai estetikanya yang tinggi,
selain daripada menggambarkan unsur alamiah yang telah sebati menjadi estetika
orang Melayu. Keindahan inilah secara sepadu puisi magis diadunkan antara kuasa
magis sebagai jampi, mantera atau serapah, dengan kekayaan dan kebesaran alam
yang diciptakan oleh Allah Subhanahu wa-Ta’ala. Inilah keindahan estetika
Melayu yang kita lihat dalam puisi magis sebagai karya sastera Melayu
tradisional.
2.4 Estetika
dan Cermin Kehidupan
Pantun mencerminkan kehidupan
masyarakat termasuk alam pikiran dan perasaaan, pandangan hidup dan kepercayaan
serta adat istiadatnya, perlu kita lihat ciri-ciri estetik pantun. Melalui
hasil penelitian sarjana seperti Winstedt, Wilkinson, van Ophuysen, Hooykaas,
Harun Mat Piah dan dan Noria Mohamed, dan lain-lain, kita dapat menjelaskan
seperti berikut:
Pertama, pantun pada umumnya terdiri dari
empat baris dengan pola bunyi akhir a b a a b atau a a a a. Kendati demikian
terdapat pantun yang terdiri dari dua, enam, dan delapan baris. Yang terakhir
ini disebut talibun.
Kedua, setiap baris merupakan kesatuan
yang terpisah, walau tidak jarang berkesinambungan dengan baris berikutnya. Baris
pertama dan kedua merupakan sampiran, yang membayangi isi yang akan dihadirkan.
Baris ketiga dan keempat disebut isi, berupa gagasan dan tanggapan yang hendak
dinyatakan.
Ketiga, baris sampiran dan isi kerap
memiliki kaitan arti di samping kesejajaran bunyi.
Keempat, tiap baris pada umumnya mengandungi
empat kata dasar dengan jumlah suku kata antara delapan sampai sepuluh.
Kelima, sering terdapat klimaks berupa
perpanjangan atau kelebihan jumlah unit suku kata atau perkataan pada bait isi.
Keenam, sampiran pada umumnya berisi
lukisan alam yang terdapat di lingkungan sekitar. Ia sering hadir sebagai
citraan-citraan simbolik yang dapat menjelaskan pandangan estetik orang Melayu,
kedekatan dengan alam dan budaya masyarakatnya.
Adapun ciri
batinnya dapat dirasakan melalui makna simbolik dari citraan dan gagasan yang
hendak dihadirkan yang merujuk pada pandangan hidup, alam perasaan, gagasan,
kepercayaan, dan sistem nilai yang dihayati masyarakat Melayu setelah mereka
menganut agama Islam. Ciri batin inilah yang secara keseluruhan mencerminkan
kehidupan masyarakat Melayu, khususnya berkenaan dengan estetika, metafisika,
dan sistem sosial dan kekerabatan bangsa Melayu. Bagi orang Melayu semua itu
saling terkait dan merupakan kesatuan yang tidak terpisa. Ini tercermin dalam
pantun ringkas seperti berikut:
Yang kurik kundi, yang merah saga
Yang baik budi, yang indah bahasa
Tidak
mengherankan jika Daillie (1988: 6) mengatakan bahwa pantun memberikan gambaran
ringkas kehidupan dan alam orang Melayu dalam sebutir pasir. Di dalamnya
tergambar semua unsur kehidupan manusia Melayu meliputi tanah, rumah, kebun,
ladang, sawah, sungai, laut, gunung, hutan, pepohonan, buah-buahan, binatang,
burung, ikan dan lain sebagainya; hal-hal bersahaja dalam kehidupan keseharian.
Pantun juga mengekspresikan adat istiadat dan kebiasaan, kearifan, kepercayaan
dan perasaan orang Melayu tentang segala hal, termasuk cinta mereka kepada
sesama manusia, cinta kasih lelaki dan wanita, serta cinta kepada Tuhan dan
Nabi.
Telah
diketahui bahwa sampiran dalam pantun sering merupakan lukisan alam yang
berfungsi sebagai citraan yang hidup. Gunanya untuk membangun cita rasa puitik.
la merupakan hal-hal yang karib dan memiliki arti tertentu dalam kehidupan
orang Melayu. Ia juga dipilih dengan pertimbangan tertentu yang matang, jadi
tidak sembarangan. Demikian juga gagasan yang disampaikan dalam isi, melekat
dalam pandangan orang Melayu yang berakar dalam agama Islam. Misalnya dalam
contoh seperti berikut:
Sarung Bugis jadikan selimut
Dibawa orang dari Bintan
Sudah tertulis di Latihul Mahfud
Di dunia ini kita berkawan
Pulau sembilan tinggal delapan
Satu merajuk ke Kuala Kedah
Sudahlah nasib permintaan badan
Kita di bawah kehendak Allah
Sarung Bugis umumnya dibuat dari sutra dan merupakan sarung
paling mahal dan prestisius di Nusantara. la tentu sudah tidak asing bagi orang
Melayu karena kehadiran orang Bugis sudah terjadi sejak lama di kepulauan
Melayu. Mereka telah hadir di Aceh sebagai pelaut ulung, bahkan salah seorang
laksamana mereka Datuk Seri Maharaja Lela pernah dirajakan di Aceh pada akhir
abad ke-16 M. Pada saat yang sama sampiran ini menggambarkan kegiatan pelayaran
orang Melayu dan Bugis di masa yang terkait dengan penyebaran Islam.
Citraan pada sampiran pantun juga sering merupakan
perbandingan dan perumpamaan, dan tidak jarang merupakan lambang yang merujuk
kepada Kehadiran agama Islam membuat orang Melayu kian yakin bahwa apa yang
terbentang di alam semesta dan dalam diri manusia itu merupakan ayat-ayat-Nya,
artinya tanda yang menakjubkan dari keagungan, keindahan dan kemahakuasaan-Nya.
Dengan itu obyek-obyek dalam alam yang dihadirkan sebagai citraan hadir untuk
melambangkan sesuatu. Contohnya bunga kemboja adalah lambang kematian karena
pohonnya biasa di tanam di komplek pekuburan. Buah limau yang masam
melambangkan rasa tidak senang atau penolakan seseorang kepada orang tertentu,
misalnya apabila ia diberikan kepada utusan seorang pemuda yang ditolak
permitaannya untuk meminang anak gadisnya. Buah delima adalah lukisan tetap
bagi seorang gadis yang cantik muda. Sebuah kelapa yang dikorek kumbang adalah
tanda seorang perempuan yang telah berhubungan badan dengan seorang lelaki.
Marilah kita lihat pantun yang mengandung perbandingan
seperti berikut ini. Yang diperbandingkan ialah gadis yang sudah ternoda
keperawanannya dengan mumbang yang dikerat tupai:
Buah kembang buah bidara
Masak serunsai dua runtai
Bersubang disangka dara
Bagai mumbang ditebuk tupai
Buah mengkudu atau jenisnya yang lain pacae, bukanlah buah
yang tezat. Oleh karena itu tidak disukai orang kendati mengandung obat. Tetapi
buah kandis sangat disukai karena manis.
Buah mengkudu kusangka manis
Kandis terletak di dalam puan
Gula madu kusangka manis
Manis lagi senyuman tuan
Ada juga pantun yang isinya adalah pembelaan diri seorang
pemuda bagi perbuatannya yang tidak baik. Dalam sampiran dinyatakan agar
menghindari teritip yang tidak berguna untuk dipakai pergi mengail ikan. Pantun
ini juga mengandung kritik terhadap seseorang yang mestinya menjadi teladan
banyak orang, tetapi ternyata sering melakukan perbuatan tidak baik.
Teritip di tepi kota
Mari berkayuh sampan pengail
Imam khatib tagi berdosa
Bertambah pula kita yang jahil
Buah bidara bukan makanan utama dibanding pisang. Tetapi
nasi makanan utama yang diperlukan. Apalagi nasi lemak. la merupakan hidangan
istimewa seperti halnya nasi uduk di Jakarta, nasi liwet di Jawa Tengah, dan
nasi rawon di Jawa Timur. Tetapi sayang dalam pantun berikut ini kelezatan dan
arti nasi lemak menjadi berkurang, sebab dimakan dengan buah bidara, bukan
misalnya dengan mentimun.
Nasi lemak buah bidara
Sayang selasih saya turutkan
Buang emak buang saudara
Karen kasih saya turutkan
Demikianlah karena berahinya kepada seorang wanita seorang
pemuda sanggup memutuskan hubungan dengan orang tua dan sanak saudaranya. Hal
itu memang tidak jarang terjadi, padahal betapa pun hubungan seorang anak
dengan ibu dan saudaranya patut dipelihara dibanding menurutkan hawa nafsu.
Lagi sebuah pantun melukiskan pentingnya galah untuk
mengambil buah di dahan pohon yang tinggi dan buah yang dimaksud ialah
cempedak, yang merupakan buah istimewa bagi orang Melayu dibanding buah sejenis
seperti nangka.
Buah cempedak di luar pagar
Ambil galah tolong jolokkan
Saya anak baharu belajar
Kalau salah tolong tunjukkan
Kata tunjukkan ada kaitan dengan jolokkan. Nasehat atau
kritik atas suatu perbuatan yang salah adalah ibarat galah yang kegunaannya
dapat dijadikan alat untuk mengambil buah yang berharga dan lezat seperti
cempedak, yaitu ilmu pengetahuan. Dalam Hikayat Malim Deman terdapat
pantun seperti berikut:
Malam ini merendang jagung
Malam esok merendang serai
Malam ini kita berkampung
Malam esok kita bercerai
Makan rendang serai tentu tidak enak dibanding makan rendang
jagung. Begitu pula dengan bercerai tidak enak dibanding hidup bersama satu
kampung. Di dalam pantun ini tidak dikatakan berumah tetapi berkampung. Ini
memperlihatkan bahwa orang Melayu lebih mengutamakan kebersamaan dalam
komunitas dibanding hidup tercerai dalam privasi. Perhatikan pula pantun yang
mengandung kritik seperti berikut ini:
Apa guna asam paya
Kalau tidak menggulai ikan
Apa guna lagak dan gaya
Kalau bahasa tidak dibicarakan
Bagi orang Melayu budi bahasa lebih penting dibanding lagak
dan gaya. Ini selaras dengan adab Islam. Dalam Adab Islam orang menjadi
terhormat bukan disebabkan kekayaan dan lagak lagunya. Tetapi karena memiliki
pengetahuan, mengenal kearifan, dan dapat menuturkan pikirannya melalui bahasa
yang bagus. Kecuali itu dalam mengemukakan pendapat selalu didasarkan
pengetahuan yang benar, dan pertimbangan pikiran yang matang. Pantun yang baru
saja dikutip menunjukkan pula betapa pentingnya bahasa sebagai sarana untuk
meningkatkan kecerdasan. Sayangnya, pengajaran bahasa Indonesia sekarang ini
diabaikan dan banyak orang lupa bahwa asal-usul bahasa Indonesia adalah bahasa
Melayu.
Pantun berikut ini mengandung ulangan kata-kata lengkap.
Isinya adalah pandangan orang Melayu bahwa tidak patut seseorang itu menyalakan
kelahiran. Penyebab burukya nasib seseorang bukan disebabkan takdir, melainkan
karena seseorang terlalu jauh berangan-angan dan menurutkan hawa nafsu:
Tidak salah bunga lembayung
Salahnya pandan bila menderita
Tidak salah bunda mengandung
Salahnya badan salah meminta
Pandan menderita karena durinya. Badan menderita karena duri
angan-angan dan hawa nafsu. Bunga lembayung dan bunda mengandung sangat sarasi.
Bunga lembayung sangat indah. Seorang anak lahir dari kandungan ibu berkat
cinta dan kasih sayang. Dalam pandangan ahli tasawuf, cinta terkait dengan
keindahan. Sesuatu dicintai karena memancarkan keindahan. Kata-kata al-rahman
dan al-rahim yang kita baca setiap harinya dalam kalimat Basmalah
mengandung arti cinta. Yang pertama, al-rahman atau Maha Pengasih adalah
cinta Tuhan yang asasi (dzatiyah), yang diberikan kepada semua makhluk-Nya.
Sedangkan al-rahim atau Maha Penyavang adalah cintanya yang wajib (wujub),
artinya wajib diberikan kepada orang yang benar-benar beriman, bertaqwa, dan
beramal saleh di jalan Allah. Kata-kata al-rahim diserap ke dalam bahasa
Melayu dan diberi arti rahim ibu. Cinta seorang ibu kepada anaknya memang wajib
diberikan.
Banyak pantun Melayu berisi paparan tentang nama pulau,
gunung, bukit, tanjung, muara, pelabuhan, negeri, dan lain-lain. Misalnya,
seperti dalam Hikayat Awang Sulung Merah Muda seperti telah diuraikan.
Tidak jarang keindahan pulau-pulau itu dihubungkan dengan keindahan seorang
gadis yang dicintai atau budi baik seorang sahabat yang disayangi. Seperti
tampak dalam pantun berikut ini:
Tanjung Katung airnya biru
Dibuat anak cerminan mata
Sedang sekampung lagi rindu
Apalagi jika jauh di mata
Kadang pantun dijadikan selingan dalam sebuah cerita,
seperti dalam pantun berikut ini:
Mabuk buaya karena kesumba
Destar sebalik ditudungkan
Mabuk hamba karena bercinta
Sebagai penyakit ditanggungkan
Tidak jarang pula pantun dijadikan pembuka cerita. Misalnya
yang terdapat dalam permulaan kisah Sabai Nan Aluih dari Minangkabau:
Kait berkait rota saga
Sudah terkait di akar bahar
Terbang ke langit berberita
Tiba di bumi jadi kabar
Pantun-pantun
yang dicontohkan ini memperlihatkan wawasan estetika yang tumbuh di dunia
Melayu. Di sebalik keindahan lahir itu tersembunyi keindahan batin. Penciptaan
sastra terjadi bukan semata disebabkan pengamatan cermat terhadap kehidupan
sosial, tetapi didasarkan atas pemikiran dan kearifan.
BAB
III
KESIMPULAN
DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Estetika
melayu berarti segala keindahan yang ada di dalam kebudayaan melayu Menjawab
tuntutan dan tantangan telaah terhadap karya sastra Melayu sastra Melayu
berfungsi sebagai penawar dan penghibur, sekaligus dapat memahami dan menelusuri
aspek nilai-nilai keindahannya sebagai ikhtiar kepada pembaca.
Estetika
atau nilai-nilai keindahan dalam sastra Melayu berfungsi menunjukkan ia adalah
sebagai tegangan untuk mempertahankan nilai
yang lama sebagai inspirasi, motivasi, dan menjadi cermin kekuatan karya sastra Melayu tradisi Melayu dalam
mengungkap dan menggambarkan zamannya.
3.2 Saran
Hendaknya pembelajaran tentang drama dapat menambah
pengetahuan siswa tentang drama dan bisa menambah kegiatan ekstrakurikuler di
bidang seni drama, agar siswa mendapat bimbingan dan lebih dapat
mengekspresikan bakatnya. Dan makalah ini dapat bermanfaat bagi siswa,
mahasiswa, masyarakat sebagai bahan pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
Dharsono.
2007. Estetika. Bandung : Rekayasa
Sains Bandung.
Tim Redaksi Kamus Besar
Bahasa Indonesia. 2008. Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.