Jumat, 22 November 2013

Estetika Melayu


Tugas Kelompok                                                                    Dosen Pembimbing
Kritik Sastra                                                                           Drs. Elmustian Rahman.M.A
                                   

“ESTETIKA MELAYU”



oleh:
DEDI SAPUTRA (1005112507)
DIANA SAFITRI (1005121225)
FREDY HANDOKO (1005112720)
RESTY ANINDITA FITRIANI (1005112730)





PROGRAM STUDI  PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2012


BAB    I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
       Estetika kebudayaan sebuah negara merupakan kesatuan masyarakat dalam bidang bahasa, agama, ekonomi, kesenian, pelajaran yang berkaitan dengan kelakuan dan kegiatan manusia. Secara keseluruhan, kebudayaan adalah penyatuan jumlah corak-corak perlakuan manusia. Dalam bidang kesenian, suatu masyarakat memiliki corak-corak kesenian yang khusus dan unik.
       Kebudayaan dalam masyarakat melayu mempunyai berbagai macam kebudayaan baik yang tradisional maupun yang modern, yang melambangkan kebudayaan melayu. Dalam makalah ini penulis membahas tentang estetika melayu, yang tentunya kebudayaan-kebudayaan yang terdapat dalam masyarakat melayu itu sendiri, yang di dalam budaya-budaya masyarakat melayu banyak terdapat nilai-nilai estetika yang sangat menarik.
1.2  Rumusan Masalah
        Agar makalah ini bisa tersusun rapi maka penulis membuat perumusan masalah agar tidak menyimpang dari tujuan, yaitu :
1.3  Tujuan Pembuatan Makalah
      Sejalan dengan rumusan masalah, penelitian ini bertujuan diantaranya sebagai berikut :

1.4 Manfaat Penulisan Makalah
     Setelah makalah ini berhasil diselesaikan, kiranya dapat memberikan kontribusi bagi berbagi pihak, diantaranya sebagi berikut:

·         Manfaat Teoritis
     Secara teoritis makalah ini akan memberikan kontribusi terhadap disiplin ilmu sastra mengenai kebudayaan. Yang masing-masing memiliki keterkaitan dengan kadar berbeda-beda.
·         Manfaat Parktis
Secara praktis penelitian ini  memilki manfaat sebagai berikut :
a)      Bagi mahasiswa, diharapkan dapat memberikan wawasan baru berkenaan dengan kebudayaan melayu dan estetika melayu.
b)      Membantu dalam meningkatkan pengetahuan masyarakat.
·         Manfaat Edukatif
         Sebagai bahan pembelajaran baik di lingkungan formal maupun di lingkungan nonformal. Khususnya di perguruan tinggi.


























BAB II
ESTETIKA MELAYU

2.1 Pengertian Estetika Melayu
            Menurut Dharsono (2007:3) estetika berasal dari bahasa Yunani “aisthetika” berarti hal-hal yang dapat diserap oleh pancaindera. Oleh karena itu estetika sering diartikan sebagai persepsi indera ( sense of perception). Estetika adalah salah satu cabang filsafat. Secara sederhana, estetika adalah ilmu yang membahas keindahan, bagaimana ia bisa terbentuk, dan bagaimana seseorang bisa merasakannya. Pembahasan lebih lanjut mengenai estetika adalah sebuah filosofi yang mempelajari nilai-nilai sensoris, yang kadang dianggap sebagai penilaian terhadap sentimen dan rasa. Estetika merupakan cabang yang sangat dekat dengan filosofi seni. Menurut Dharsono, (2007: 3 ) estetika diartikan sebagai suatu cabang filsafat yang memperhatikan atau berhubungan dengan gejala yang indah pada alam dan seni.
            Sedangkan menurut kamus besar bahasa Indonesia estetika adalah cabang filsafat yang menelaah dan membahas tentang seni dan keindahan serta tanggapan manusia. Sedangkan melayu adalah suatu suku bangsa di Sumatra, semenanjung Malaysia, dan di pelbagai daerah Asia Tenggara. Jadi kesimpulannya estetika melayu adalah suatu ilmu yang menelaah dan membahas tentang seni-seni dan keindahan yang bercorak melayu.
            Estetika melayu berarti segala keindahan yang ada di dalam melayu menjawab tuntutan dan tantangan telaah terhadap karya sastra Melayu sastra Melayu berfungsi sebagai penawar dan penghibur, sekaligus dapat memahami dan menelusuri aspek nilai-nilai keindahannya sebagai ikhtiar kepada pembaca. Dalam implementasinya menunjukkan bahwa konsep estetika sangat penting dalam pemikiran sastra Melayu, sebuah karya sastra yang berestetika Melayu datangnya dari pengalaman yang berorientasi suatu ajaran dan menggunakan teks yang kuat serta kukuh dalam penceritaan. Semuanya, memperlihatkan bahwa setiap peristiwa dalam karya sastra sebagai ucapan bermakna dan menekankan bahwa aspek keindahannya
lahir dari warisan tetua-tetua dahulu. Estetika melayu meliputi, yang terdapat di dalam masyarakat melayu, seperti salah satunya adalah puisi, syair, dan lain sebagainya.
2.2 Fungsi Estetika Melayu
            Estetika atau nilai-nilai keindahan dalam sastra Melayu berfungsi menunjukkan sebagai tegangan untuk mempertahankan nilai yang lama sebagai inspirasi, motivasi, dan menjadi cermin kekuatan karya sastra Melayu tradisi Melayu dalam mengungkap dan menggambarkan zamannya. Sekaligus, perwujudan estetika atau nilai-nilai keindahan yang dibangun menguak kesadaran berbilang bangsa atas keberadaan masyarakat dan bangsa di alam Melayu. Kesadaran yang demikian merupakan pemahaman bahwa sebuah eksistensi tidak dapat terwujud baik tanpa keberadaan orang, masyarakat ataupun bangsa lain. Suatu masyarakat atau bangsa itu tahu bahwa ia tidak akan menjadi apa-apa kecuali bangsa lain mengenalnya sebagai suatu identitas tertentu. Keberlangsungan perwujudan keberadaan, kedirian, dan identitas adalah perekat bagi suatu masyarakat dengan bangsa dan bangsa dengan bangsa lain.
2.3 Contoh Estetika Melayu
            Salah satu contohnya adalah estetika melayu dalam puisi magis. Bangsa Melayu mempunyai tradisi gaya dan cara perubatan yang unik. Orang Melayu mempunyai kemahiran dan kepakaran menggunakan ramuan herba sebagai bahan perubatan. Mereka telah lama mempunyai asas sains dalam mengenal pokok atau buah-buahan yang mempunyai racun dan cara menawarkannya. Misalnya, jering boleh dimakan mentah sebagai ulam. Tetapi kalau direbus tidak begitu masak akan menjadi racun. Ubi gadung juga beracun. Kalau direbus dan dimakan begitu saja akan membawa padah. Tetapi orang Melayu telah lama mengetahui cara memakan ubi gadung yang sedap itu. Mereka merendamkannya dalam sungai atau alur air tiga empat hari. Semua racun itu akan keluar. Selepas itu selamat dimakan.
            Lingkungan hidup orang Melayu secara tradisinya dipenuhi pokok yang bukan saja boleh dimakan, tetapi juga untuk perubatan. Sekarang, lingkungan itu telah menghasilkan perusahaan besar mengenai penjagaan kesihatan. Pokok seperti teja lawang, tongkat ali, kacip fatimah, rempah gunung, akar seribu, hempedu bumi, sirih, kerdas, ulam raja, mengkudu, batang wali atau seruntun, petai, misai kucing, selasih, buah dan pokok petai belalang, halia, kunyit, pegaga,
kesom, dan banyak lagi, menjadi bahan untuk kesihatan atau perubatan orang Melayu.
            Alam semula jadi yang merupakan lingkungan estetika orang Melayu, penuh dengan dunia hidup sihat dan menjadi bahan perubatan, selain daripada bahan sastera dalam tradisi lisan. Selain daripada kemahiran dan kepakaran dalam ramuan herba dari alam semula jadi seperti yang disebutkan, orang Melayu juga mempunyai gaya dan cara perubatan secara batin, secara spiritual. Cara batin ini disebut sebagai jampi, mantera atau serapah. Oleh sebab dalam analisis ini hanya untuk menjelaskan khazanah sastera, maka semua jenis perubatan secara 2 batin ini disebut sebagai puisi magis. Dan dibincangkan hanya mengenai keindahan puisi magis yang bersifat alamiah dengan maksud untuk menjelaskan estetika Melayu. Perlu disebutkan bahawa puisi magis termasuk dalam budaya rakyat atau folklore, di bawah tradisi adat. Tradisi adat ini mencakupi soal kepercayaan seperti sihir, nujum, mimpi, alamat atau ketika, jampi atau mantera atau serapah. Walaupun ada puisi rakyat dan nyanyian rakyat, tetapi kedudukan puisi magis agak tersendiri. Puisi magis berhubung kait dengan gaya dan cara perubatan tradisi orang Melayu kerana ia berhubung dengan peranan bomoh atau pawang atau dukun atau bidan. Peranan mereka sangat besar dan terkenal dalam masyarakat      Melayu sehingga kini. Walaupun puisi magis dianggap cara perubatan secara kekuatan kuasa ghaib atau bergantung kepada “orang halus” atau “orang dendam”, tetapi kata-kata atau bait-bait yang dianggap magis itu masih terikat kepada sifat alamiah. Kebanyakan puisi magis dimulakan dengan Bismillah, dan disudahi dengan satu frasa atau dua frasa dikaitkan dengan ucapan dua kalimah syahadat, untuk membuktikan ada kaitannya dengan kudrat dan iradat Allah, dan mengakui kerasulan Nabi Muhammad s.a.w. Misalnya dalam “jampi menangkap ikan” dirakamkan seperti berikut:
Limau purut daun mengkudu
lemang kering di pangkalan Judah
seluruh laut ini aku punya
lautan ini aku punya.
Assalamu’alaikum Nabi Sulaiman
aku minta kau kumpulkan anak buah kau
mana yang patah bertongkat
mana yang singkung berpimpin
aku minta makan umpan kailku
kalau tidak makan
derhaka kau kepada Allah
dengan berkat kata.
            Frasa terakhir “dengan berkat kata” itu diikuti dengan ucapan dua kalimah syahadat. Perhatikan bagaimana pusi magis ini tersusun dariapda unsur alamiah dengan nama pokok atau makanan. Limau purut dan daun mengkudu itu nama dua jenis pokok yang diambil buah dan daunnya untuk ramuan herba. Lemang pula sejenis makanan, sama ada yang masih lembut atau yang sudah kering, dan menjadi kegemaran orang Melayu, terutama hari perayaan. Pangkalan Judah itu nama tempat, dan dimasukkan pula nama laut dan lautan. Kemudian dikaitkan dengan nama Nabi Sulaiman s.a.w. yang menguasai segala jenis binatang dan jin.
            Unsur alamiah atau wujudnya estetika Melayu itu sangat ketara. Seluruh puisi magis ini merupakan adunan antara pokok, makanan, ruang tempat mencari makan yaitu laut dan lautan. Pangkalan Judah pula diwujudkan sebagai lambang kepada sesuatu lokasi persinggahan atau pangkalan para nelayan waktu turun ke laut atau naik ke daratan. Para nelayan berhimpun di Pangkalan Judah untuk menguruskan segala hasil tangkapannya. Pada permulaan puisi magis ini seakan-akan sebuah pantun yang tidak lengkap. Yang ada hanya pembayang maksud, kemudian terus kepada keadaan iaitu “seluruh laut aku punya” dan “lautan ini aku punya”. Kemudian ucapan salam kepada Nabi Sulaiman s.a.w. untuk mendekatkan ikan kepada umpan kail atau pancing. Susunan yang menarik dalam puisi magis ini apabila wujudnya pengulangan seperti dalam cerita penglipur lara, iaitu “mana yang patah bertongkat/mana yang singkung berpimpin” yang membawa maksud supaya ikan berhimpun dan berebutan memakan umpan kailnya. Unsur alamiah sebagai sebahagian daripada isi puisi magis sangat harmoni dan amat menarik. Misalnya “jampi sakit perut” diucapkan seperti berikut:
Batang penak batang meranti
ketika sangkar babi
datang senak ulu hati
aku bangkah tidak menjadi.
Aku menurunkan bisa
aku menaikkan tawar
tawar Allah
tawar Muhammad

tawar Baginda Rasulullah
dengan berkat kata... (ucapan dua kalimah syahadat)
            Bait baris pertama jelas bentuk pantun, yaitu dua baris pertama itu menjadi pembayang maksud, dan mengambil nama pokok penak dan pokok meranti. Dua pokok ini lazimnya menjadi bahan untuk dibuat rumah. Frasa “sangkar babi” melambangkan penyakit. Rima akhir dalam bentuk syair, iaitu “a-a-a-a.” Dua baris kemudian jelas kepada maksud penyakit iaitu “senak ulu hati” sebagai maksud dari pembayang “sangkar babi”, maka “aku bangkah tidak menjadi”. Bangkah, maknanya mematikan atau dihalang dengan cara isyarat supaya penyakit itu tidak berlanjutan. Baris berikutnya menghubungkan kuasa magis itu dengan Allah dan Nabi Muhammad s.a.w. diikuti dengan mengucap dua kalimah syahadat. Ada pula puisi magis yang memilih unsur bunyi bersama unsur alamiah yang lain. Dalam “jampi demam” dan “jampi sakit kepala” dicipta seperti berikut:
Bedegup bedegap
menumbuk lesung salah nama
datang dia tidak beranak
datang penawar datang jampi
si anu (nama pesakit)
kalau kau terkena di batu di batang
serupa di sungai di hujan panas
ribut di langit
aku minta pulih bagai sedia kala
tawar Allah
tawar Muhammad
tawar berkat doa... (ucapan dua kalimah syahadat)
            Frasa “bedegup bedegap” adalah bunyi yang diumpamakan seperti “menumbuk (di) lesung” yang dikatakan “salah nama”. Kalau kesakitan atau demam itu “terkena di batu” atau “di batang” pada mana-mana tempat yang secara kebetulan adanya “ruap di sungai” atau waktu “hujan panas” atau ketika turunnya “ribut di langit”, maka dengan nama Allah dan Muhammad s.a.w., semoga demam itu sembuh atau tidak menjadi. Menurut kepercayaan tradisi orang Melayu bahawa kadang-kadang demam itu terjadi kerana disampuk oleh “orang halus” ketika
            Seseorang itu, terutama kanak-kanak, bermain-main atau melalui sesuatu kawasan dalam masa “terlarang”, misalnya “meniti batang” dan waktu “hujan panas”. Puisi magis “jampi sakit kepala” juga dibina daripada sifat alamiah yang amat kaya dengan keindahan estetikanya, seperti berikut:
Dummali dummal-ken-kum
puncak kepala
naik hutan naik rimba
sepuluh menaikkan bisa
seratus sembilan puluh sembilan
menaikkan tawar
tawar Allah
tawar Baginda Rasullullah
dengan berkata kata... (ucapan dua kalimah syahadat)
            Perhatikan unsur alamiah yang membawa keindahan pembawaan estetika Melayu, iaitu mengambil contoh bunyi di “puncak kepala” dengan “dummali dummal-ken-kum”, iaitu bunyi “dum dum dum” dan “ken kum” dalam kepala, seolah-olah ada makhluk yang sedang bergerak yang “naik (ke) hutan dan (ke) rimba” dalam seluruh “tempurung kepala” itu. Dan pergerakan “makhluk halus” seperti itulah menyebabkan seseorang itu sakit kepala. Hubungan bahasa alam “dum dum dum” dan “ken kum” yang meniru bunyi sesuatu yang jatuh atau meletup “di puncak kepala”, kemudian barulah maksud puisi magis ini dipastikan, lalu memohon rahmat Allah untuk menyembuhkannya. Pemilihan bunyi merupakan unsur puisi, termasuk puisi moden. Peniruan bunyi ini dinamakan Onomatopeia.
Dalam puisi magis yang dinamakan “Bisik Bismad” atau “Bisik Semad” bukan saja mengambil unsur alamiah tetapi telah mengadunkannya dengan nama-nama dalam kepercayaan Hindu dan Islam. Asalnya puisi magis ini untuk memulihkan semangat teruna atau dara yang terkena hikmat orang atau sihir. Isi “Bisik Bismad” merupakan acara pelepasan daripada tiga tokoh, iaitu Sang Kala (Betara Kala) dan Beroma Sakti (Sang Bima) dari kepercayaan Hindu, dan Lokman al-Hakim dari Islam. Susunannya seperti berikut (dimulakan dengan salam):


Hai Sang Kala raja di bumi
Beroma Kesakti raja di langit

sebelum lagi sang awong
sebelum lagi sang awang
pintu ke kiri pintu ke kanan
pintu yang empat menjadi satu
dulu zat kemudian sifat
dulu kabut kemudian asap
dulu jin kemudian manusia
jatuh ke bumi sebesar buah gomok
turunlah bigo ro-ro
pung, melengganglah pukat
cap kudi-kudi ayu-ayu
Sang Kala Sang Kani
apa gelap gelemat
hujan turun salah musim
angin turun salah ketika
memetik di dalam awan
terlintas di dalam laut
terbukalah pintu relung.
Assalamu’alaimum
hai Syekh Lokman Hakim
kau pelepaslah penyakit yang ada
di dalam tubuh orang ini:
jika kau mari hari Jumaat
aku lepas pada hari Jumaat
jika engkau mari hari Sabtu
aku lepas pada hari Sabtu
aku lepas pada hari Sabtu
jika engkau mari hari Ahad
aku lepas pada hari Ahad
jika engkau mari hari Isnin
aku lepas pada hari Isnin
jika engkau mari hari Selasa
aku lepas pada hari Selasa
jika engkau mari pada hari Rabu
aku lepas pada hari Rabu
jika engkau mari pada hari Khamis



aku lepas pada hari Khamis;
lepas daripada tubuh orang ini
serta di kampung orang ini.
Laut tidak bertepi
padang tidak berumput
pusat tasik pauh janggi
di sanalah tempat engkau pergi makan minum.
Jika engkau mari tuntut pada orang ini
aku sumpah engkau
dengan saffan saffa dakkan dakka
dengan berkat kata... (ucapan kalimah syahadat)
            Perhatikan unsur alamiah lingkungan hidup yang kaya seperti bumi, langit, awan, pintu, asap, pukat, hujan, relung, nama hari, laut, padang dan pusat tasik pauh janggi. Termasuk sejenis makanan iaitu buah “gomok” diperbuat daripada pulut atau beras, kelapa dan gula. Perulangan kata-kata “sebelum”, “pintu”, “dulu”, atau frasa “hujan turun salah musim”, “angin turun salah ketika”, jika engkau mari”, “aku lepas pada”, “laut tidak bertepi, padang tidak berumput” dan “saffan saffa dakkan dakka”, merupakan ciri keindahan puisi magis ini. Susunan barisnya yang harmoni antara struktur dan isi, dan perulangan dalam diksi atau frasa tertentu, kalau dituturkan atau disuarakan dengan nada yang wajar, puisi magis seperti “Bisik Bismad” ini boleh mendatangkan kuasa magis yang mengagumkan. Dari sudut struktur, puisi magis ini sudah memperlihatkan ukurtara puisi moden yang memilih ucapan mantera, seperti yang dapat kita lihat dalam beberapa puisi yang ditulis oleh penyajak tanah air kita.
            Dalam sebuah puisi magis untuk tujuan pengasih atau penyeri wajah, memilih daun sirih sebagai bahan jampinya. Daun sirih atau buah pinang merupakan sautu pembuka persahabatan kepada orang Melayu. Dalam sesuatu peristiwa penting seperti dalam permainan, seri panggung memerlukan seri wajah supaya menarik perhatian orang ramai. Daun sirih digunakan sebagai bahan penyeri. Sebelum dimakan daun sirih itu dijampi, diucapkan seperti berikut:

Sirih aku serangkai kuning
pinang aku serangkai muda
duduk aku berbayang kuning
berdiri aku berdiri darah di muka.
Bukan sirih yang manis
akulah yang manis.
Bukan sepiak yang manis
tubuhkulah yang manis
akulah yan manis.
Sekalian memandang aku
jatuh tersepuk depan kakiku
berkat kata... (ucapan dua kalimah syahadat)
Selain daripada menggunakan unsur alamiah daun sirih dan buah pinang, puisi magis “Penyeri Wajah” ini menggunakan skima rima tertentu. Empat baris pertama mengandungi skima rima “a-b-a-b” diikuti oleh tujuh baris dengan rima “c”, dua baris dengan rima “d” dan dua baris lagi dengan rima “e”. Meneliti dari sudut ini saja pun puisi magis ini sudah membuktikan keindahan dan nilai estetikanya yang tinggi, selain daripada menggambarkan unsur alamiah yang telah sebati menjadi estetika orang Melayu. Keindahan inilah secara sepadu puisi magis diadunkan antara kuasa magis sebagai jampi, mantera atau serapah, dengan kekayaan dan kebesaran alam yang diciptakan oleh Allah Subhanahu wa-Ta’ala. Inilah keindahan estetika Melayu yang kita lihat dalam puisi magis sebagai karya sastera Melayu tradisional.
2.4 Estetika dan Cermin Kehidupan
            Pantun mencerminkan kehidupan masyarakat termasuk alam pikiran dan perasaaan, pandangan hidup dan kepercayaan serta adat istiadatnya, perlu kita lihat ciri-ciri estetik pantun. Melalui hasil penelitian sarjana seperti Winstedt, Wilkinson, van Ophuysen, Hooykaas, Harun Mat Piah dan dan Noria Mohamed, dan lain-lain, kita dapat menjelaskan seperti berikut:
Pertama, pantun pada umumnya terdiri dari empat baris dengan pola bunyi akhir a b a a b atau a a a a. Kendati demikian terdapat pantun yang terdiri dari dua, enam, dan delapan baris. Yang terakhir ini disebut talibun.
Kedua, setiap baris merupakan kesatuan yang terpisah, walau tidak jarang berkesinambungan dengan baris berikutnya. Baris pertama dan kedua merupakan sampiran, yang membayangi isi yang akan dihadirkan. Baris ketiga dan keempat disebut isi, berupa gagasan dan tanggapan yang hendak dinyatakan.
Ketiga, baris sampiran dan isi kerap memiliki kaitan arti di samping kesejajaran bunyi.
Keempat, tiap baris pada umumnya mengandungi empat kata dasar dengan jumlah suku kata antara delapan sampai sepuluh.
Kelima, sering terdapat klimaks berupa perpanjangan atau kelebihan jumlah unit suku kata atau perkataan pada bait isi.
Keenam, sampiran pada umumnya berisi lukisan alam yang terdapat di lingkungan sekitar. Ia sering hadir sebagai citraan-citraan simbolik yang dapat menjelaskan pandangan estetik orang Melayu, kedekatan dengan alam dan budaya masyarakatnya.
            Adapun ciri batinnya dapat dirasakan melalui makna simbolik dari citraan dan gagasan yang hendak dihadirkan yang merujuk pada pandangan hidup, alam perasaan, gagasan, kepercayaan, dan sistem nilai yang dihayati masyarakat Melayu setelah mereka menganut agama Islam. Ciri batin inilah yang secara keseluruhan mencerminkan kehidupan masyarakat Melayu, khususnya berkenaan dengan estetika, metafisika, dan sistem sosial dan kekerabatan bangsa Melayu. Bagi orang Melayu semua itu saling terkait dan merupakan kesatuan yang tidak terpisa. Ini tercermin dalam pantun ringkas seperti berikut:
Yang kurik kundi, yang merah saga
Yang baik budi, yang indah bahasa

            Tidak mengherankan jika Daillie (1988: 6) mengatakan bahwa pantun memberikan gambaran ringkas kehidupan dan alam orang Melayu dalam sebutir pasir. Di dalamnya tergambar semua unsur kehidupan manusia Melayu meliputi tanah, rumah, kebun, ladang, sawah, sungai, laut, gunung, hutan, pepohonan, buah-buahan, binatang, burung, ikan dan lain sebagainya; hal-hal bersahaja dalam kehidupan keseharian. Pantun juga mengekspresikan adat istiadat dan kebiasaan, kearifan, kepercayaan dan perasaan orang Melayu tentang segala hal, termasuk cinta mereka kepada sesama manusia, cinta kasih lelaki dan wanita, serta cinta kepada Tuhan dan Nabi.
            Telah diketahui bahwa sampiran dalam pantun sering merupakan lukisan alam yang berfungsi sebagai citraan yang hidup. Gunanya untuk membangun cita rasa puitik. la merupakan hal-hal yang karib dan memiliki arti tertentu dalam kehidupan orang Melayu. Ia juga dipilih dengan pertimbangan tertentu yang matang, jadi tidak sembarangan. Demikian juga gagasan yang disampaikan dalam isi, melekat dalam pandangan orang Melayu yang berakar dalam agama Islam. Misalnya dalam contoh seperti berikut:
Sarung Bugis jadikan selimut
Dibawa orang dari Bintan
Sudah tertulis di Latihul Mahfud
Di dunia ini kita berkawan

Pulau sembilan tinggal delapan
Satu merajuk ke Kuala Kedah
Sudahlah nasib permintaan badan
Kita di bawah kehendak Allah
Sarung Bugis umumnya dibuat dari sutra dan merupakan sarung paling mahal dan prestisius di Nusantara. la tentu sudah tidak asing bagi orang Melayu karena kehadiran orang Bugis sudah terjadi sejak lama di kepulauan Melayu. Mereka telah hadir di Aceh sebagai pelaut ulung, bahkan salah seorang laksamana mereka Datuk Seri Maharaja Lela pernah dirajakan di Aceh pada akhir abad ke-16 M. Pada saat yang sama sampiran ini menggambarkan kegiatan pelayaran orang Melayu dan Bugis di masa yang terkait dengan penyebaran Islam.
Citraan pada sampiran pantun juga sering merupakan perbandingan dan perumpamaan, dan tidak jarang merupakan lambang yang merujuk kepada Kehadiran agama Islam membuat orang Melayu kian yakin bahwa apa yang terbentang di alam semesta dan dalam diri manusia itu merupakan ayat-ayat-Nya, artinya tanda yang menakjubkan dari keagungan, keindahan dan kemahakuasaan-Nya. Dengan itu obyek-obyek dalam alam yang dihadirkan sebagai citraan hadir untuk melambangkan sesuatu. Contohnya bunga kemboja adalah lambang kematian karena pohonnya biasa di tanam di komplek pekuburan. Buah limau yang masam melambangkan rasa tidak senang atau penolakan seseorang kepada orang tertentu, misalnya apabila ia diberikan kepada utusan seorang pemuda yang ditolak permitaannya untuk meminang anak gadisnya. Buah delima adalah lukisan tetap bagi seorang gadis yang cantik muda. Sebuah kelapa yang dikorek kumbang adalah tanda seorang perempuan yang telah berhubungan badan dengan seorang lelaki.
Marilah kita lihat pantun yang mengandung perbandingan seperti berikut ini. Yang diperbandingkan ialah gadis yang sudah ternoda keperawanannya dengan mumbang yang dikerat tupai:
Buah kembang buah bidara
Masak serunsai dua runtai
Bersubang disangka dara
Bagai mumbang ditebuk tupai
Buah mengkudu atau jenisnya yang lain pacae, bukanlah buah yang tezat. Oleh karena itu tidak disukai orang kendati mengandung obat. Tetapi buah kandis sangat disukai karena manis.

Buah mengkudu kusangka manis
Kandis terletak di dalam puan
Gula madu kusangka manis
Manis lagi senyuman tuan

Ada juga pantun yang isinya adalah pembelaan diri seorang pemuda bagi perbuatannya yang tidak baik. Dalam sampiran dinyatakan agar menghindari teritip yang tidak berguna untuk dipakai pergi mengail ikan. Pantun ini juga mengandung kritik terhadap seseorang yang mestinya menjadi teladan banyak orang, tetapi ternyata sering melakukan perbuatan tidak baik.

Teritip di tepi kota
Mari berkayuh sampan pengail
Imam khatib tagi berdosa
Bertambah pula kita yang jahil

Buah bidara bukan makanan utama dibanding pisang. Tetapi nasi makanan utama yang diperlukan. Apalagi nasi lemak. la merupakan hidangan istimewa seperti halnya nasi uduk di Jakarta, nasi liwet di Jawa Tengah, dan nasi rawon di Jawa Timur. Tetapi sayang dalam pantun berikut ini kelezatan dan arti nasi lemak menjadi berkurang, sebab dimakan dengan buah bidara, bukan misalnya dengan mentimun.

Nasi lemak buah bidara
Sayang selasih saya turutkan
Buang emak buang saudara
Karen kasih saya turutkan

Demikianlah karena berahinya kepada seorang wanita seorang pemuda sanggup memutuskan hubungan dengan orang tua dan sanak saudaranya. Hal itu memang tidak jarang terjadi, padahal betapa pun hubungan seorang anak dengan ibu dan saudaranya patut dipelihara dibanding menurutkan hawa nafsu.
Lagi sebuah pantun melukiskan pentingnya galah untuk mengambil buah di dahan pohon yang tinggi dan buah yang dimaksud ialah cempedak, yang merupakan buah istimewa bagi orang Melayu dibanding buah sejenis seperti nangka.
Buah cempedak di luar pagar
Ambil galah tolong jolokkan
Saya anak baharu belajar
Kalau salah tolong tunjukkan

Kata tunjukkan ada kaitan dengan jolokkan. Nasehat atau kritik atas suatu perbuatan yang salah adalah ibarat galah yang kegunaannya dapat dijadikan alat untuk mengambil buah yang berharga dan lezat seperti cempedak, yaitu ilmu pengetahuan. Dalam Hikayat Malim Deman terdapat pantun seperti berikut:
Malam ini merendang jagung
Malam esok merendang serai
Malam ini kita berkampung
Malam esok kita bercerai

Makan rendang serai tentu tidak enak dibanding makan rendang jagung. Begitu pula dengan bercerai tidak enak dibanding hidup bersama satu kampung. Di dalam pantun ini tidak dikatakan berumah tetapi berkampung. Ini memperlihatkan bahwa orang Melayu lebih mengutamakan kebersamaan dalam komunitas dibanding hidup tercerai dalam privasi. Perhatikan pula pantun yang mengandung kritik seperti berikut ini:

Apa guna asam paya
Kalau tidak menggulai ikan
Apa guna lagak dan gaya
Kalau bahasa tidak dibicarakan

Bagi orang Melayu budi bahasa lebih penting dibanding lagak dan gaya. Ini selaras dengan adab Islam. Dalam Adab Islam orang menjadi terhormat bukan disebabkan kekayaan dan lagak lagunya. Tetapi karena memiliki pengetahuan, mengenal kearifan, dan dapat menuturkan pikirannya melalui bahasa yang bagus. Kecuali itu dalam mengemukakan pendapat selalu didasarkan pengetahuan yang benar, dan pertimbangan pikiran yang matang. Pantun yang baru saja dikutip menunjukkan pula betapa pentingnya bahasa sebagai sarana untuk meningkatkan kecerdasan. Sayangnya, pengajaran bahasa Indonesia sekarang ini diabaikan dan banyak orang lupa bahwa asal-usul bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu.
Pantun berikut ini mengandung ulangan kata-kata lengkap. Isinya adalah pandangan orang Melayu bahwa tidak patut seseorang itu menyalakan kelahiran. Penyebab burukya nasib seseorang bukan disebabkan takdir, melainkan karena seseorang terlalu jauh berangan-angan dan menurutkan hawa nafsu:
Tidak salah bunga lembayung
Salahnya pandan bila menderita
Tidak salah bunda mengandung
Salahnya badan salah meminta

Pandan menderita karena durinya. Badan menderita karena duri angan-angan dan hawa nafsu. Bunga lembayung dan bunda mengandung sangat sarasi. Bunga lembayung sangat indah. Seorang anak lahir dari kandungan ibu berkat cinta dan kasih sayang. Dalam pandangan ahli tasawuf, cinta terkait dengan keindahan. Sesuatu dicintai karena memancarkan keindahan. Kata-kata al-rahman dan al-rahim yang kita baca setiap harinya dalam kalimat Basmalah mengandung arti cinta. Yang pertama, al-rahman atau Maha Pengasih adalah cinta Tuhan yang asasi (dzatiyah), yang diberikan kepada semua makhluk-Nya. Sedangkan al-rahim atau Maha Penyavang adalah cintanya yang wajib (wujub), artinya wajib diberikan kepada orang yang benar-benar beriman, bertaqwa, dan beramal saleh di jalan Allah. Kata-kata al-rahim diserap ke dalam bahasa Melayu dan diberi arti rahim ibu. Cinta seorang ibu kepada anaknya memang wajib diberikan.
Banyak pantun Melayu berisi paparan tentang nama pulau, gunung, bukit, tanjung, muara, pelabuhan, negeri, dan lain-lain. Misalnya, seperti dalam Hikayat Awang Sulung Merah Muda seperti telah diuraikan. Tidak jarang keindahan pulau-pulau itu dihubungkan dengan keindahan seorang gadis yang dicintai atau budi baik seorang sahabat yang disayangi. Seperti tampak dalam pantun berikut ini:
Tanjung Katung airnya biru
Dibuat anak cerminan mata
Sedang sekampung lagi rindu
Apalagi jika jauh di mata

Kadang pantun dijadikan selingan dalam sebuah cerita, seperti dalam pantun berikut ini:

Mabuk buaya karena kesumba
Destar sebalik ditudungkan
Mabuk hamba karena bercinta
Sebagai penyakit ditanggungkan

Tidak jarang pula pantun dijadikan pembuka cerita. Misalnya yang terdapat dalam permulaan kisah Sabai Nan Aluih dari Minangkabau:

Kait berkait rota saga
Sudah terkait di akar bahar
Terbang ke langit berberita
Tiba di bumi jadi kabar

Pantun-pantun yang dicontohkan ini memperlihatkan wawasan estetika yang tumbuh di dunia Melayu. Di sebalik keindahan lahir itu tersembunyi keindahan batin. Penciptaan sastra terjadi bukan semata disebabkan pengamatan cermat terhadap kehidupan sosial, tetapi didasarkan atas pemikiran dan kearifan.


BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1  Kesimpulan
      Estetika melayu berarti segala keindahan yang ada di dalam kebudayaan melayu Menjawab tuntutan dan tantangan telaah terhadap karya sastra Melayu sastra Melayu berfungsi sebagai penawar dan penghibur, sekaligus dapat memahami dan menelusuri aspek nilai-nilai keindahannya sebagai ikhtiar kepada pembaca.
      Estetika atau nilai-nilai keindahan dalam sastra Melayu berfungsi menunjukkan ia adalah sebagai tegangan untuk mempertahankan nilai yang lama sebagai inspirasi, motivasi, dan menjadi cermin kekuatan karya sastra Melayu tradisi Melayu dalam mengungkap dan menggambarkan zamannya.
3.2   Saran
      Hendaknya pembelajaran tentang drama dapat menambah pengetahuan siswa tentang drama dan bisa menambah kegiatan ekstrakurikuler di bidang seni drama, agar siswa mendapat bimbingan dan lebih dapat mengekspresikan bakatnya. Dan makalah ini dapat bermanfaat bagi siswa, mahasiswa, masyarakat sebagai bahan pembelajaran.













DAFTAR PUSTAKA

Dharsono. 2007. Estetika. Bandung : Rekayasa Sains Bandung.
Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.